Langsung ke konten utama

Sebuah Proses

www goggle.com

Melihat kue ini, seketika anganku melesak kemasa masih tinggal serumah dengan ibu, saat usia SMP ke bawah karena mulai SMA sudah jauh dari orang tua dan memulai hidup di kost-kostan.
Ibuku adalah ibu - ibu dimasanya yang selalu siap siaga menyediakan makanan bagi keluarganya. Bahkan kudapan sekalipun, baginya tabu membeli makanan di luar. Selain harus merogoh dompet juga tidak terjamin kualitasnya, baik rasa maupun bahan bakunya. Vetsin, pewarna makanan, juga bahan tambahan lainnya selalu menjadi alasan jika kita ingin jajan.

Kue ini adalah salah satu kue yang sering dibuat oleh ibuku ketika hari libur tidak mengajar di sekolah. Bikang namanya, terbuat dari tepung beras ditambah gula dan santan, sepertinya begitu. Karena aku tahunya setelah matang tanpa pernah berminat melihat prosesnya.

Sebenarnya bukan kuenya yang menarik untuk diingat, tapi bagaimana kue cantik ini tersaji.
Sebelum sukses menjadi kue nan cantik berserat-serat dan mekar, yummy serta harum ini, entah sudah berapa kali tak terhitung proses gagalnya.

Setiap ahad pagi, ibu sudah siap dengan bahan-bahan. Tepung beras yang sudah ditumbuk sendiri setelah  semalaman beras itu direndam, lalu kelapa yang sudah menjadi santan dan bahan lainnya.
Siang hari, dieksekusi bahan-bahan tersebut dan taraaa.... Kuenya tidak mekar, bantat dan berakhir menjadi bubur.

Pekan depan lagi, dan lagi. Entah sudah yang keberapa kali. Mulai dari yang bantat, gosong dan aneka kegagalan lain. Hingga kami, Anak-anak nya sebagai penguji rasa bosan. Tapi ibuku tetap tak pernah bosan, terus dan terus mengulang sembari mencari apa yang salah dan kurang. Hingga suatu saat, kue cantik tersaji dihadapan kami. Yeee berhasil.
Begitulah proses ibuku membuat kue bikang, juga kue-kue yang lain seperti pukis, spiku, bolu dan lainnya.

Mengenang ini menjadi motivasi bagiku dalam belajar. Sejatinya tak ada sukses yang tiba-tiba, sekali coba langsung cling....jadi.
Mungkin kita harus mengalami kegagalan berulang, revisi beberapa kali karena sejatinya hidup pun seperti ini.

Menulis diajang klip juga sebagai sarana belajar, berulang kali tulis hapus,  baru setengah macet, seharian tidak menemukan ide dan banyak permasalahan lainnya.
Setelah selesai nulis pun, bukan tulisan yang keren jadinya, biasa saja. Apalagi menjadi tulisan viral yang dilike dan dishare banyak orang. Biasa saja, seperti luapan uneg-uneg saja. Jika karena itu lalu putus asa tidak menulis lagi, maka selamanya tidak akan bisa menulis.

Tapi karena niatnya untuk belajar, bersungguh - sungguh dalam segala urusan dan konsisten, apapun halangan itu akan menjadi tantangan yang harus ditaklukan.
Seperti motivasi yang diberikan oleh Ibu Septi :

" Tidak ada gunung yang lebih tinggi dari lututmu, selama kamu bisa mendaki puncaknya".



Perbaiki lalu pertegas  niat dan tujuan menulis. Setidaknya, jika pun tidak menjadi tulisan bagus, berkualitas dan disukai banyak orang. Cukuplah sarana healing bagi diri sendiri. Kita suka dan bahagia melakukan.
Tetap semangat!

#KLIP2020
#Januari5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa pedesaan di Jawa. Jalan

Lembah Long Ba : Menunggu

Part 6. Menunggu Tinggal sedikit lagi tubuhku lenyap dihisap bayangan hitam itu, seketika aku teringat gambaran Dementors, sebuah roh jahat yang hanya bisa dikalahkan oleh mantra expecto patronum nya Harry Potter dari gurunya Remus Lupin. Lalu cahaya putih menghalangi makhluk itu sehingga tidak bisa menyentuhku. Setelahnya, di dadaku terasa ada yang menyentuh, agak keras namun dingin rasanya. Tiba-tiba aku seperti mendapat suntikan energi, hingga akhirnya bisa membuka mata. Yang pertama tertangkap mata adalah ruangan berdinding putih. Aku berada di sebuah ranjang beralas warna putih juga. Tanganku tak bisa digerakkan, ternyata ada sebuah selang dan jarum menancap di dekat pergelangan tanganku. Belum sempat kuedarkan pandang menyapu seluruh ruangan, Bapak kepala kampung mendekat. "Pak Tegar… . " Disebutnya namaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. "Syukur Alhamdulillah Pak Tegar sudah siuman, " sambung Pak Jauri. Rupanya mereka yang membawaku ketempat ini. Semac

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi