Langsung ke konten utama

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm

Beberapa hari ini mulai trending film pendek "Tilik". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya :
  • Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih
  • Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018
  • Official selection word cinema Amsterdam 2019

Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman. 

Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa pedesaan di Jawa. Jalan berkelok melalui hutan jati, lalu persawahan dengan padi yang menghijau sungguh memanjakan mata yang melihatnya. 

Jujur awalnya kurang tertarik dengan dialog-dialog di film ini. Dialog yang mengambarkan percakapan sehari-hari khas ibu-ibu yang berisi dengan gosip, ghibah dan fitnah. (Siap ditimpuk ibu-ibu nih.... Nggak semua kok... Suer) 

Ceritanya seorang ibu bernama Bu Ning yang sangat perhatikan pada bu. Lurah mendengar khabar bahwa bu. Lurah sedang sakit dan dibawa ke rumah sakit di kota. Bu Ning ini segera menyebarkan berita ini ke whatsApp grup para ibu ini. Lalu ibu-ibu ini sepakat untuk 'tilik' (menjenguk) bu. Lurah di rumah sakit. Sepanjang perjalanan inilah bu. Tejo dengan gaya khasnya mulai mengosip tentang Dian, seorang gadis kembang desa tersebut, sementara Bu. Ning membantah dan membela Dian. Lalu kejadian ditilang polisi karena mengunakan kendaraan yang tak semestinya dijadikan angkutan cukup menghibur dan membuat ketawa.

Tapi pesan yang disampaikan oleh pembuat film cukup mengelitik juga. Sebuah literasi digital yang sarat makna, terlebih di era derasnya arus informasi disajikan dengan gaya yang membumi. 
Setidaknya ada beberapa yang bisa diambil hikmahnya. 

Satu. Mengangkat lagi budaya tilik  (menjenguk) yang sudah mulai ditinggalkan 

Semangat dari pembuatan film pendek ini ada mengangkat budaya tilik yang sudah mulai ditinggalkan.  Budaya asli masyarakat Indonesia ini pada umumnya guyup rukun saling tolong menolong. Jika ada salah satu yang mengalami musibah maka yang lain akan saling membantu dan meringankan. 

Kehidupan modern dan hedonis sedikit melunturkan tradisi itu. Antar tetangga bahkan tak saling kenal. Masing- masing sibuk dengan urusannya sendiri.

Tak sepenuhnya hilang sama sekali sih ya. Karena masih banyak dijumpai terutama di pedesaan. Tapi sebagai generasi ibu rumah tangga tahun 2000 an, sungguh ketrampilan bertetangga tak sebagus ibu-ibu kita di masanya. 

Tradisi tilik ini jadi mengingatkan masa ketika ibu sakit, dan dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Surabaya. Rombongan tetangga dari kampung juga beramai-ramai menjenguk seperti ini. Meski jarak kampung ke Surabaya harus menempuh perjalanan hampir tiga jam. 

Dua. Saring-saringlah berita di era informasi ini. 

Tak dapat dipungkiri bahwa di jaman internet sampai ke pedesaan ini, aneka informasi bak hujan di musimnya. Deras. Media sosial pun sudah tak asing lagi bagi ibu-ibu hatta di kampung dan pelosok sekalipun. Sudah selayaknya ada filter informasi sehingga tidak semua ditelan mentah-mentah karena tak semua yang berasal dari media daring sesuai dengan fakta. 
Informasi hoaxs bertebaran di dunia maya. 

Tiga. Gosip, ghibah yang tak ada buktinya bisa menjadi fitnah

Namanya saja gosip, semakin digosok semakin sip. Terlebih dengan bumbu yang sedap, hampir sudah dibedakan antara rumor dan fakta. 
Gosip jika memang terbukti namanya ghibah. 
Mengosip atau menghibah itu seperti memakan bangkai saudara yang digosipin itu. 
Sedangkan tidak terbukti namanya fitnah. Dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dua-duanya adalah hal yang tak patut. 

Empat. Tak perlu membela mati-matian yang tidak kita ketahui faktanya.

Jika yang mengosip tanpa bukti bisa jadi fitnah. Yang membela mati-matian pun jika tanpa tahu fakta sebenarnya juga kurang baik, terlebih jika diakhirnya apa yang digosipkan itu menjadi kenyataan. "Jekletek " , tibak e...jebul e.... atau apalah istilahnya. 

Mencegah orang lain mengosip atau ghibah sih boleh -boleh saja. Bahkan harus ya. Tapi kalau mati-matian membela yang digosipin hingga terjadi padhu atau perang mulut itu juga jadi gimana gitu. Jadinya perkelahian yang tak ada habisnya. Seperti Bu. Tejo dan Bu. Ning dalam film ini. Meski dalam pergaulan masyarakat desa antara padhu dan rukun itu dia hal yang silih berganti seperti siang dan malam. Biasa saja.

Sama halnya yang terjadi di negeri ini kala musim pemilihan presiden lalu. Rakyat terbelah jadi dua kubu, saling gelut yang akhirnya juga jekletek dua-duanya sudah akur, eh kitanya masih musuhan. 

Nitizen Indonesia 

Segala sesuatu akan menimbukan beragam tanggapan . Dan tak lama setelah film pendek ini viral, berada medsos pun mulai ramai membicarakan. Jangan heran jika hari ini tokoh Bu. Tejo dengan segala keunikannya lebih viral dibanding filmnya, karena begitulah nitizen.
Dialog Bu. Tejo yang begitu mengemaskan layaknya bigos : biang gosip kini mulai rame diunggah di media sosial.
Bu. Tejo yang ghibahnya memorable itu kini menjadi memerable. 

Anehnya, acara ghibah menghibah tak hanya terjadi dalam adegan film ini saja, bahkan kini  nitizen lah yang mengibah para tokoh di film ini.

Semoga istagram Bu. Tejo aman, tak ada yang memaki  pemeran Bu. Tejo seperti yang terjadi pada artis Korea dalam film Word of the Marriage. 

Penasaran dengan Bu. Tejo? Tonton deh filem pendek ini. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lembah Long Ba : Lelaki Berkalung Siung Harimau

Part 3. Lelaki Berkalung Siung Harimau Auuuugh… ! Aku ambruk tanpa sempat menggapai apapun untuk menahan berat badanku. Rasa sakit segera menjalar ketika tubuhku menimpa benda yang ada di bawahku. Sialnya malam begitu gulita benar. "Pak Tegar… . " Suara Simpai terdengar. Aku berusaha bangkit setelah sedikit menguasai keadaan. Rupanya meja yang kutabrak barusan. Mengapa berada tepat di depan pintu kamar, padahal tadinya kuletakkan dekat pintu keluar? "Kenapa mejanya jadi ada disini? " tanyaku pada Simpai. "Eh iya, maaf Pak. Saya geser meja biar tempat buat tidur jadi lebih luas. Juga biar gampang kalau harus keluar rumah, " jawab Simpai sambil menyalakan lentera. "Bapak ada yang luka? " "Sudah, nggak apa-apa. Geser sedikit ke samping pintu kan bisa, " jawabku lalu beranjak balik ke kamar. "Jangan lupa, matikan lagi lenteranya, takut jatuh dan jadi kebakaran. " Malam pun berlalu dengan tenang, tapi bukan tak terjadi apa - apa. ...

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi...