Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Lembah Long Ba : Tegaknya Diagnosa

Part 7. Tegaknya Diagnosa Sekali lagi dokter Andi melihat gawainya. Meski berdebar layaknya menunggu putusan pengadilan, tapi aku sedikit tenang, setidaknya sakitku terdefinisikan. Bukan sakit karena sesuatu yang tak masuk akal. "Pak Tegar, sakit malaria, " ujar dokter Andi. "Serius Dok, hanya malaria bukan yang lain? " tanyaku hampir tak percaya. "Iya… dan ini diperkuat hasil pemeriksaan darah. Untung kemarin itu ada heli mampir sini jadi bisa nitip sampel darah ke kota. " "Tapi Dok… ? " Dokter yang ramah ini tersenyum semakin lebar. "Kenapa? Takut karena ada sesuatu? Nggak percaya hasil pemeriksaan medis? " Aku tersipu, beberapa hari di balai pengobatan ini membuat kami semakin akrab karena perasaan sesama pendatang. "Bukan, kok berat banget ya, saya merasa hampir koit, " ujarku seraya tertawa. "Memang, si Plasmodium yang berada pada stadium aseksual membuat inangnya tak berdaya. Beruntung cepat dibawa kesini kalau ngg

Lembah Long Ba : Menunggu

Part 6. Menunggu Tinggal sedikit lagi tubuhku lenyap dihisap bayangan hitam itu, seketika aku teringat gambaran Dementors, sebuah roh jahat yang hanya bisa dikalahkan oleh mantra expecto patronum nya Harry Potter dari gurunya Remus Lupin. Lalu cahaya putih menghalangi makhluk itu sehingga tidak bisa menyentuhku. Setelahnya, di dadaku terasa ada yang menyentuh, agak keras namun dingin rasanya. Tiba-tiba aku seperti mendapat suntikan energi, hingga akhirnya bisa membuka mata. Yang pertama tertangkap mata adalah ruangan berdinding putih. Aku berada di sebuah ranjang beralas warna putih juga. Tanganku tak bisa digerakkan, ternyata ada sebuah selang dan jarum menancap di dekat pergelangan tanganku. Belum sempat kuedarkan pandang menyapu seluruh ruangan, Bapak kepala kampung mendekat. "Pak Tegar… . " Disebutnya namaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. "Syukur Alhamdulillah Pak Tegar sudah siuman, " sambung Pak Jauri. Rupanya mereka yang membawaku ketempat ini. Semac

Lembah Long Ba : Sakit

Part 5. Sakit Seketika langkahku terhenti, kutarik tangan Simpai dan memberanikan diri melihat ke belakang. Sebatang pohon tumbang, sesaat ketika kami baru saja melintasinya. Berulang kali kuucap hamdalah, karena pohon itu tidak menimpaku. Tak sempat lagi kupikirkan mengapa pohon itu tiba-tiba tumbang begitu saja, padahal tak ada angin kencang. Setengah berlari segera kami menyusul Bapak Simpai menuju jalan setapak keluar hutan. *** Sepekan sejak keluar dari hutan aku merasakan keanehan pada tubuhku, tiba - tiba meriang tak karuan. Rasanya semakin tak enak, nafsu makan berkurang hingga tubuhku semakin lemas. Lalu demam tinggi menyerangku, nafasku jadi sesak, dada seperti ditimpa beban berat dan tenggorokan seperti dicekik. Tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan memanggil Simpai pun aku tak sanggup. Suaraku tercekat di tenggorokan. Tiga hari hanya bisa tergolek lemas di tempat tidur bahkan perutku pun terasa panas, mual dan muntah terus menerus. Ibu Simpai datang memberiku ramuan dan menya

Lembah Long Ba : Kuburan Kuno di Tepi Hutan

Part 4. Makam Kuno di Tepi Hutan Meski tubuhku bergetar hebat, kuusahakan memberi sikap hormat. Bibir lelaki itu komat kamit tapi tak kudengar sedikitpun suara. Tatapan matanya yang tajam tak lepas dariku. Aku menunduk, dan tetap dalam posisi semula sampai menarik napas pun aku takut. Tak lama Simpai menghampiri kami sehingga suasana kaku sedikit cair. Segaris senyum tiba-tiba kulihat dari bibir lelaki itu, hatiku sedikit tenang. "Maaf Pak, saya Tegar guru baru di SD Long Ba ini. " Kucoba memperkenalkan diri. "Iya, saya tahu. Kepala kampung sudah membicarakan denganku sebelum kedatangan Pak. Tegar ke sini. Selamat bertugas di desa kami. Titip anak-anak, didik dengan benar dan jangan sampai merusak lingkungan. " Tutur kata lelaki itu tegas namun cukup menenangkan dan seketika bayangan wajah garangnya lenyap, tapi wibawanya keluar. Yanse Yele Mangi, demikian nama yang kudengar setelah aku memperkenalkan diri. Seorang pemangku adat, orang yang paling dituakan setelah k

Lembah Long Ba : Lelaki Berkalung Siung Harimau

Part 3. Lelaki Berkalung Siung Harimau Auuuugh… ! Aku ambruk tanpa sempat menggapai apapun untuk menahan berat badanku. Rasa sakit segera menjalar ketika tubuhku menimpa benda yang ada di bawahku. Sialnya malam begitu gulita benar. "Pak Tegar… . " Suara Simpai terdengar. Aku berusaha bangkit setelah sedikit menguasai keadaan. Rupanya meja yang kutabrak barusan. Mengapa berada tepat di depan pintu kamar, padahal tadinya kuletakkan dekat pintu keluar? "Kenapa mejanya jadi ada disini? " tanyaku pada Simpai. "Eh iya, maaf Pak. Saya geser meja biar tempat buat tidur jadi lebih luas. Juga biar gampang kalau harus keluar rumah, " jawab Simpai sambil menyalakan lentera. "Bapak ada yang luka? " "Sudah, nggak apa-apa. Geser sedikit ke samping pintu kan bisa, " jawabku lalu beranjak balik ke kamar. "Jangan lupa, matikan lagi lenteranya, takut jatuh dan jadi kebakaran. " Malam pun berlalu dengan tenang, tapi bukan tak terjadi apa - apa.

Lembah Long Ba : Pemuda Tanggung

Part. 2 Pemuda Tanggung Selepas sholat subuh, kembali kurebahkan tubuhku di kasur dan bergelung dengan selimut yang menutup tubuhku rapat-rapat. Udara pagi hampir-hampir menembus semua pori-poriku. Letak lembah di sekitar pegunungan yang masih terjaga kelestariannya karena masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, menjadikan malam hingga pagi terasa dingin sekali. Tak terasa aku pun terlelap lagi beberapa menit hingga remang cahaya matahari masuk ke kamar. Bergegas aku bangun dan turun dari tempat tidur. Srek… kakiku menginjak sesuatu. Sesaat mataku menangkap beberapa daun kering di lantai kamarku. Kutebarkan pandangan ke sekeliling kamar, woah daun-daun kering berserakan entah dari mana. Padahal semua pintu dan jendela masih tertutup rapat. Bahkan, semalam aku tak merasakan adanya angin kencang. Segera kusapu dedaunan itu dan kubuang begitu saja di halaman. Meski aneh aku tak ingin memikirkannya. Kesibukan mengajar, sejenak mengalihkan perasaan ganjilku. Sampai malam

Lembah Long Ba: Suara-Suara di Malam Pertama

Part. 1 : Suara-Suara di Malam Pertama Tiiiiing..., suara lentingan yang tak keras namun cukup panjang membuat tidurku sedikit terganggu. Setelah berulang, akhirnya tidurku benar-benar terganggu. Kubuka mata dan memaksimalkan pupil mendeteksi cahaya, nihil. Yang ada hanya gulita semata. Listrik yang hanya menyala 8 jam dalam sehari dari pukul 18.00-00.00 membuatku berkeyakinan saat ini sudah dinihari. Kuraba-raba sekitarku untuk mencari gawai pun percuma, karena setelah sekian menit tak kutemukan juga. Aku terlalu lelah sekian hari dalam perjalanan hingga ketika sampai tempat ini sore tadi, setelah berbagai acara seremonial langsung kurebahkan badan di kamar rumah dinasku. Akhirnya suara itu hilang tapi tak seberapa lama suara gonggongan anjing bersahut-sahutan. Kututup kupingku dengan batal, biarlah mereka beradu vokal, aku masih mengantuk dan ingin tidur lebih lama lagi. Wajar saja, selain warga yang rata-rata punya anjing, hutan belantara tak jauh dari desa ini pun pasti banyak anj

Kata Tanya Bermakna Pengasuhan Kami

Dalam keluarga kami, ada sebuah kata tanya yang kerap dilontarkan anak-anak, dan bagi kami bermakna pengasuhan yang dalam. Sebuah kata tanya yang kini jadi kenangan kecuali momen tertentu yang kini sangat langka. Benar adanya, momen pengasuhan itu tak lama, maka ciptakan kenangan yang bermakna. Balik pada sebuah kata tanya itu, "Berapa" yang biasanya digunakan untuk menanyakan jumlah. Benar sekali. Berapa-berapa Bun? Sebuah pertanyaan yang selalu hadir ketika makanan terhidang di keluarga kami. Maksudnya adalah, berapa banyak yang akan menjadi bagian masing - masing anak? Dan ini berlaku untuk makanan yang dapat dihitung, seperti lauk, kue atau buah. Mempunyai anak berbilang dengan jarak yang berdekatan membuat anak-anak tumbuh hampir bersamaan. Terbayang kan bagaimana tujuh orang anak dalam satu rumah. Terbayang kan bagaimana ketika kami berhadapan dengan makanan. Sebanyak apapun harus bisa dibagi rata sesuai kebutuhan anak. Apalagi jika sedikit, lebih rumit lagi jika tidak

Ketika Harus Menerima Lamaran

Selalu ada yang pertama, pertama ketemu calon suami, pertama punya anak, hingga pertama menerima lamaran atau melamar. Dan yang pertama itu kadang bikin deg-degan tak karuan, iya nggak sih? Begitulah, ketika mendapat kabar bahwa calon besan akan datang ke kota kami dari kota yang jauh tentu saja kami deg-degan, bingung harus bagaimana. Ini pertama kalinya kami akan menerima kedatangan calon besan. Terlebih kami termasuk calon mertua yang masih mudah, heuh belum lima puluh tahun. Dan nggak ada tetua yang bisa kami mintai pertolongan karena pandemi ini ada pembatasan gerak. Awalnya info yang kami Terima hanya untuk silaturahmi antar keluarga. Begitulah yang ada di pikiran kami, jadi nggak perlu persiapan acara yang gimana gitu. Dan ketika dikonfirmasi malah mengajak ketemuan di luar rumah. Tepatnya di rumah makan, jadi santai aja nggak perlu masak-masak. Terbayang kan andai ada acara di rumah dengan kondisi rumah kami yang minimalis sebagai warga nomaden juga kemampuan masakku yang level

Kauman, Warga Sekitar Masjid Jami'

Kauman, tentu tak asing dengan kata ini kan. Apalagi di Jawa, konsep pembangunan kota - kota di Jawa ada kemiripan dengan patron konsep kota Yogyakarta. Mungkin karena dulunya merupakan daerah yang berada di dalam kekuasan kerajaan Mataram ini. Coba perhatikan, rata-rata kota di Jawa mempunyai centrum, kantor pemerintahan, pasar, alun-alun dan masjid. Lalu daerah yang berada di sekitar masjid ini dinamakan kauman dan masyarakatnya pun mendapat julukan warga kauman. Karena tinggal di sekitar masjid, maka warga kauman dikenal lebih religius dibanding warga lain di luar kauman. Bisa jadi, karena mereka dikenal sebagai pemakmur masjid dengan rutin sholat berjamaah di masjid atau kegiatan keislaman lainnya. Tidak hanya di kota atau ibukota propinsi dan kabupaten, konsep tata kelola daerah seperti ini juga sampai di kota kecamatan. Jika, disebut daerah kauman pasti akan merujuk pada daerah di sekitar masjid. Dulu aku begitu iri dengan warga kauman ini. Rasanya beda ya, lebih religius dengan

Berubah, Bergerak atau Kalah itu Pilihan

Aku tuh suka terharu dengan anak muda yang sukses memanage hidupnya dengan baik, membuat iri dalam arti positif. Meski semua bukan karena bagaimana mereka dididik, bisa juga karena keadaan yang memaksa untuk itu. Tapi apapun itu, masih muda dengan segala kesuksesannya adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan diambil pelajaran. Terlepas definisi sukses itu seperti apa. Yang jelas secara dunia rasanya sudah cukup kebaikan yang mereka lakukan. Sama-sama terbiasa tidak tergantung dengan orang tua, mandiri sejak usia belia hingga kuliah pun tak lagi atas biaya orang tua. Beasiswa dan bekerja paruh waktu menjadi pilihan hingga bangku kuliah bisa diselesaikan dengan baik dan predikat yang tak kalah dengan anak-anak yang hanya belajar tanpa pernah risau akan biaya hidup dan kuliah. Akhirnya mereka bertemu dalam ikatan pernikahan di ujung study mereka. Selepas yudisium, pernikahan sederhana bahkan super minimalis itu ( dengan biaya kurang dari 2 juta) tak mengurangi tujuan suci pernikahan. Men

Saat Pendidikam Masih Identik dengan Persekolahan

Beberapa hari lalu publik ramai membicarakan sosok artis yang lulus studi di Stanford University. Tak hanya satu gelar master, double gelar lagi. Sesuatu yang sangat membanggakan bagi sebagian besar penduduk negeri ini. Hebat lah, terlebih artis yang biasanya ketika sudah mendapatkan penghasilan besar dengan mudah tidak lagi berminat belajar atau melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Saya tak berminat ikut pro kontra dengan hal ini, meski ada sebagian yang berpendapat wajar dong dengan previllage yang dimilikinya. Orang tua yang mendukung dengan segala fasilitas yang sanggup mereka berikan. Lihat saja rekam jejak sekolah dari TK hingga program masternya bukan sekolah murah. Orang biasa nggak mungkin bisa, terlebih tak ada kocek yang bisa dirogoh dalam-dalam. Lalu ramai orang membandingkan dengan banyak sosok berprestasi di negeri ini yang kesulitan biaya sekolah. Boro-boro bisa mengambil master, lulus ujian masuk Perguruan tinggi idaman saja tak lantas membuat bahagia tap

Hati yang Tertawan

Secangkir kopi dalam gelas putih polos itu masih mengepulkan asap. Pagi dingin selepas hujan deras semalam yang masih menyisakan rintik kecil mengurangi kepulan asap kopi lebih cepat. Tatapan matanya masih terpaku pada kumpulan tanaman anggrek dengan bunga kekuningan yang menikmati guyuran hujan, dari beberapa pot yang ada di rak bunga, hanya tersisa beberapa saja. Entah sudah berapa lama tangannya tak telaten lagi mengurus tanaman itu.  Tiba-tiba senyum manis itu melintas dalam ingatannya. Senyum manis dari seseorang yang dulu begitu dipujanya. Namun di sudut hati terdalam menjadi nyeri tak terkira.  Sebuah sentuhan lembut menyadarkan lamunannya. Tangan - tangan kecil memeluknya erat dari belakang.  "Bunda  … ,"sapaan lembut menghampiri telinganya.  "Wah sudah bangun anak bunda," serunya seraya menarik pelan tubuh mungil itu ke pangkuannya. Kebiasaan si bungsu itu selalu meminta atau memberi pelukan kala bangun dari tidurnya.  Sisa pagi itu dinikmati Ranti berdua d

Tugas Puisi: Hujan dan Cerita Rindu

Hujan dan Cerita Rindu (yang tak pernah usai) Pada rintikmu yang berirama sendu Membawa sejuta kenangan mengalun syahdu Menembus batas melintas beribu waktu Karena rindu itu tak lagi bisa berpadu pada temu Wahai hujan, padamu akan kuteriakan sejuta kata Untuk menitipkan berlembar cerita  Tentang cinta tulus yang pernah ada Dan tak pernah ada yang setara dengan dia Kau tahu, ketika butiran beningmu mulai turun kala dulu Selalu ada usapan tangan lembutnya dibahu Lalu untaian kata-katanya penuh asa terdengar di telingaku Lihat Nak, ada beribu malaikat bersama hujan itu  Dan aku tenang bersama ibu Hujan, sungguh aku merindu dia Kala tubuhnya kian renta dimakan usia Namun pilihan hidup tak berpihak pada masa senjanya Dalam kesendirian jauh dari buah hati tercinta  Sementara pandemi memupus pertemuan segera  Hingga dua tahun lamanya Hujan, kuakhiri cerita ini Tentang rindu yang tak pernah usai  Harapanku kala rintikmu reda nanti Lalu hari semakin gelap tanpa tepi Kuharap rindu ini sedikit te

Aku si Anak Desa dan Buku

Meski tinggal di kampung yang jauh dari pusat kota, aku si anak desa punya kebiasaan membaca sudah dilatih sejak dini oleh Bapak maupun Ibu. Kebiasaan membaca, bukan diajari membaca. Lha gimana caranya melatih kebiasaan membaca tanpa diajari membaca?  Ini… .!  Jadi begini, kebiasaan membaca itu pada balita bisa dilatih dengan melihat. Children see, children do begitu kan istilahnya. Kami terbiasa melihat Ibu dan Bapak membaca. Ibu dengan segala keterbatasannya di jaman dulu sudah rajin membaca buku di rumah tetangga yang punya banyak buku. Begitu pun Bapak.  Masa balita kami, belum ada buku - buku untuk balita selayaknya jaman kini. Tapi kami dikelilingi buku. Buku-buku lama Bapak dan Ibu juga majalah-majalah pendidikan yang menjadi bacaan Bapak dan Ibu yang seorang guru itu.  Terlebih Bapak pandai mendongeng. Setiap malam ada saja dongeng yang dituturkan sebagai pengantar tidur kami. Kadang cerita pewayangan seperti Mahabarata atau Ramayana.  Membaca sendiri bagiku bukan perkara mudah

Jangan Panggil Aku Ibu

Tentu saja, aku mengenal sosok itu. Perempuan lugu itu sebenarnya cantik juga, hanya saja terik matahari membuat kulitnya menjadi legam, kulitnya agak kasar dan wajah polos tanpa sapuan make up itu menjadi tabir wajah cantiknya. Namun, tampilan sederhana itu tak sesederhana kepribadiannya. Sorot matanya melancarkan kasih sayangnya. Dengan telaten ia menjaga dan merawatku. Menyeka tubuh, membuang kotoran juga menyiapkan obat serta makananku. Sungguh kehadirannya sama sekali tak kuharapkan, namun siapa lagi yang bisa merawatku setiap hari di rumah sakit ini, suamiku harus bekerja sementara kedua anak lelakiku sedang kuliah di luar kota. Rasa tak nyaman tertutup oleh kebutuhanku. "Tante mau distelin tivi? " Tanyanya lembut. Sejak dulu ia memanggilku tante, aku yang memintanya. Semua orang mengenalnya sebagai anak dari sepupu jauhku. Dan aku sendiri tak punya ponakan karena anak tunggal. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, suami dan dokter yang menanganiku tiba. Visit dokte

Yang Tak Bisa Kuubah

Setelan sekian lama menyimpan rasa dengan rapi lalu rasa itu terajut menjadi nyata, senang sekali bukan?  Kupandang kertas putih yang baru saja kukeluarkan dari amplop coklat. Jantungku berdebar kencang dan serasa hampir meledak ketika sebaris nama tertangkap mataku. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku. Ya Allah, benarkah ini. Sungguh rasa yang absurd sekali.  Setelah sekian lama, tak ada yang tahu. Hanya dinginnya lantai kamarku yang jadi saksi bisu kala nama itu kusebut dalam doaku. Semua tersimpan rapi, bahkan pada sahabat terdekat ku. Kamal Abdurrahman, sebuah nama yang kukenal ketiga aku bergabung dalam organisasi dakwah kampus. Dialah sang ketua. Entah sejak kapan aku menyimpan simpatiku, tak kusadari hampir setahun berinteraksi meski terbatas urusan kegiatan kampus rasa suka itu mulai bersemi. Hingga kini ketika aku hampir meletakkan jabatanku sebagai sekretaris.  Ya, kesibukan mengerjakan tugas akhir dan masa bakti dua tahun berturut-turut sudah cukup bagiku untuk undur di