Langsung ke konten utama

Jangan Panggil Aku Ibu


Tentu saja, aku mengenal sosok itu. Perempuan lugu itu sebenarnya cantik juga, hanya saja terik matahari membuat kulitnya menjadi legam, kulitnya agak kasar dan wajah polos tanpa sapuan make up itu menjadi tabir wajah cantiknya. Namun, tampilan sederhana itu tak sesederhana kepribadiannya. Sorot matanya melancarkan kasih sayangnya. Dengan telaten ia menjaga dan merawatku. Menyeka tubuh, membuang kotoran juga menyiapkan obat serta makananku.

Sungguh kehadirannya sama sekali tak kuharapkan, namun siapa lagi yang bisa merawatku setiap hari di rumah sakit ini, suamiku harus bekerja sementara kedua anak lelakiku sedang kuliah di luar kota. Rasa tak nyaman tertutup oleh kebutuhanku.

"Tante mau distelin tivi? " Tanyanya lembut. Sejak dulu ia memanggilku tante, aku yang memintanya. Semua orang mengenalnya sebagai anak dari sepupu jauhku. Dan aku sendiri tak punya ponakan karena anak tunggal.

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, suami dan dokter yang menanganiku tiba. Visit dokter kali ini memastikan apakah donor buatku sudah ada. Dan aku belum menemukannya. Suami dan anak-anak masih belum cocok. Sebenarnya bungsuku, tapi cita-citanya menjadi pilot membuatku tak tega memintanya.

"Coba Tina ini saja Bun, " bisik suamiku.

"Nggak, aku nggak mau Yah, "seruku

" Lho siapa tahu cocok, kan sebaiknya dicoba dulu. Lagian dia kan masih terhitung anak kerabatmu. Sepupu gitu ya. Apa Bunda lebih suka keluar masuk rumah sakit gini? "

"Aku pikirin lagi ya Yah, please jangan sekarang. "

"Segera ya Bun. "

Sekuat apapun aku menolak, tapi siapa yang bisa menghalangi kalau ternyata kami punya kecocokan. Tina pun bahkan tanpa meminta persetujuan keluarganya langsung bersedia menjadi donor ginjalku.

Semua berjalan lancar, operasiku sukses dan aku sudah bisa pulang ke rumah. Tina pun kembali ke desa dengan satu ginjal. Ada rasa yang tak mampu kuungkapkan. Anak yang baik meski dengan segala perlakuan yang tak pantas untuknya.


***

Gadis muda itu menangis sesenggukan di kamarnya. Entah sudah berapa hari, entah tak terhitung berapa malam. Bahkan niat buruk untuk bunuh diri atau kabur dari rumah sudah bulat tapi akhirnya ada saja yang berhasil mengurungkannya.

Menikah dengan orang yang tak diharapkan bukan hal yang mudah. Bukan sekedar dengan orang yang tak dicintainya, tapi hidupnya masih panjang, masih jauh cita-citanya yang ingin dicapainya. Ia bahkan baru saja lulus madrasah tsanawiyah, asanya melanjutkan sekolah guru.

Setahun menjalani kehidupan rumah tangga bagai berada dalam neraka. Kebaikan suaminya tak mampu meruntuhkan kerasnya hati. Bahkan kehadiran buah hati yang lucu dan imut tak mampu menumbuhkan rasa kasih. Di usia tiga bulan, bayi itu ditinggalkannya.

Bahagia yang dirasa ketika ia pergi meninggalkan desanya. Sekolah menengah atas jejak awal meraih cita. Melanjutkan kuliah hingga gelar sarjana diraihnya. Bekerja lalu menikah dengan dambaan hatinya. Sukses dan bahagia, suami yang mapan, anak-anak yang lucu dan pintar. Fasilitas hidup yang cukup untuk bersenang-senang melupakan semua yang pernah menjadi sejarah hidupnya. Termasuk bayi mungil yang dulu ditinggalkannya.

Sesekali ia ketemu kala menengok orang tuanya.

"Ibu…. " Sapaan itu mengagetkannya. Bayi itu tumbuh menjadi gadis dewasa. Cantik ala gadis desa. Namun ia menepis, panggilan itu tak disukainya.

"Panggil aku tante, dan jangan pernah memanggil ibu sampai kapanpun. "

Mata gadis itu sendu namun tak lama. Sosok yang dirindukannya itu tak menghendakinya.


Kini, meski waktu jauh berlalu. Bayi yang telah menjadi dewasa itu tetap berlapang dada. Berbagi ginjal dengan sosok yang mengandungnya itu membuatnya bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa...

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi...

Ke Baitullah

Part 5 Berkah dari Kesalahan Karena keberangkatan umroh kita dari Jakarta, maka kami harus menuju Jakarta sebelum tanggal 23 Januari. Pagi menjelang siang di tanggal 22 Januari sampailah kita di Jakarta dan menuju Bekasi. Kami harus menjumpai Ibu yang telah terlebih dahulu dijemput adik dari Bojonegoro dan dibawa ke rumahnya di Bekasi. Bandara Sepinggan Balikpapan, para minimalis yang akan travelling. Hanya ini barang bawaan kami.  Sebelum sampai di Jakarta kami sudah meminta Adik menunjukkan rute termudah menuju rumahnya. Berdasarkan petunjuknya, kami harus naik bis damri dari Cengkareng ke Terminal Kampung Rambutan lanjut grab atau gocar ke Jati Melati. Tapi begitu di pool damri  Cengkareng, suami membeli tiket ke Bekasi kota. Tak apalah, beliau kan pernah kuliah di Jakarta semoga lebih tahu rute terdekat ke Bekasi. Nge WA adik lagi, menceritakan bahwa kita naik damri ke Bekasi. "Waduh, jauh lagi itu mah. Lewat daerah macet lagi. Karena terminalnya di Bekasi Ti...