Langsung ke konten utama

Kata Tanya Bermakna Pengasuhan Kami


Dalam keluarga kami, ada sebuah kata tanya yang kerap dilontarkan anak-anak, dan bagi kami bermakna pengasuhan yang dalam. Sebuah kata tanya yang kini jadi kenangan kecuali momen tertentu yang kini sangat langka. Benar adanya, momen pengasuhan itu tak lama, maka ciptakan kenangan yang bermakna.

Balik pada sebuah kata tanya itu, "Berapa" yang biasanya digunakan untuk menanyakan jumlah. Benar sekali. Berapa-berapa Bun? Sebuah pertanyaan yang selalu hadir ketika makanan terhidang di keluarga kami. Maksudnya adalah, berapa banyak yang akan menjadi bagian masing - masing anak? Dan ini berlaku untuk makanan yang dapat dihitung, seperti lauk, kue atau buah.

Mempunyai anak berbilang dengan jarak yang berdekatan membuat anak-anak tumbuh hampir bersamaan. Terbayang kan bagaimana tujuh orang anak dalam satu rumah. Terbayang kan bagaimana ketika kami berhadapan dengan makanan. Sebanyak apapun harus bisa dibagi rata sesuai kebutuhan anak. Apalagi jika sedikit, lebih rumit lagi jika tidak dibiasakan untuk tidak egois dan berlapang dada dalam berbagi. Maka, makna kata tanya itu sangat dalam bagi kami.

Mengajarkan anak untuk berbagi


Tak mudah, terlebih salah satu karakter balita adalah egonya tinggi. Ketika menginginkan sesuatu berusaha untuk menguasai. Tapi bukan berarti nggak bisa, dengan contoh dari yang lebih dewasa maka anak terkecil pun bisa dilatih untuk berbagi.

Bisa juga dengan cerita -cerita yang bermakna. Seperti sahabat yang itsar atau mendahulukan sahabatnya meski sangat ingin atau butuh sekalipun.

Sarana belajar berhitung


"Bunda, berapa-berapa lauknya? "
"Bunda, satu orang jatahnya berapa? "
"Mari kita hitung dulu, ah iya berarti dibagi sembilan ya dengan Abi dan Bunda. "
"Kuenya ada lima, kita berempat lebih satu dong, buat Bunda aja lebihnya. "

Ada saja pertanyaan dan celoteh matematika dalam makanan kami. Terkadang sisa itu dibagi lagi hingga kami bisa mengajarkan pecahan.

Seru bukan.Lalu kami akan makan bersama dengan gembira, sesederhana apapun itu makanannya. Semisal tahu goreng, pisang goreng atau bakwan.

Melatih kejujuran


Kadang obrolan di sela-sela menikmati makanan itu berlanjut.
"Kamu sudah berapa Dek? "
"Ini aku baru yang kedua"
" Eh aku sudah tiga, tinggal satu jatahku. "
"Yah, jatahku sudah habis. "
Dan kami bahagia melihat kejujuran anak-anak.

Begitulah kesepakatan diantara kami. Agar semua anak mendapat jatah yang sama, tidak iri dan saling berebut makanan. Satu hal yang selalu kami nasihatkan kepada anak-anak agar tidak berebut makanan. Hilang barokahnya.

Melatih adab yang baik


Terhadap makanan, anak-anak juga terbiasa meminta izin. Mereka berusaha menghargai kepemilikan. Meski hanya sebutir permen.

Harus jelas milik siapa, dan meminta izin jika ingin memakannya. Sehingga tidak ada terjadi, misalnya

" Lho kueku di meja kok nggak ada? "
"Minumanku di kulkas kok habis, padahal tadi masih separo? "

Bahkan kami tidak mewajibkan atau menganjurkan, tapi setiap mau makan anak-anak akan meminta izin dulu. Kebiasaan saja.

"Bunda aku makan ya? "
"Bunda, ini ada makanan dari Bude, enak kayaknya. Aku pengen dari tadi, tapi nunggu Bunda atau Abi sih. "

Harap maklum, penghuni rumah kami ada sembilan orang kalau berkumpul semua. Bisa dibayangkan jika semua seenaknya, betapa saling sengkarut pada hal-hal yang kecil akan terjadi setiap hari.

Penutup


Jadi peraturan tepatnya kesepakatan tidak tertulis itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami sehari-hari. Tanpa ada paksaan, semua menerima dengan lapang dada.

Kini, pertanyaan berapa-berapa itu sudah jarang terdengar lagi. Sejak anak-anak satu persatu meninggalkan rumah untuk pergi belajar ke luar pulau bahkan ke mancanegara.

Kalaupun masih ada yang bertanya, "Berapa-berapa Bun?"
Jawabnya, " Sudah habisin saja."

Tiba masanya anak-anak tumbuh dewasa dan berdiaspora. Namun dengan makna pengasuhan yang dalam, dimanapun mereka berada, akan tetap menjaga adab yang telah tertanam dengan kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga, Tak Sekedar Ikatan Nasab

Gerimis kecil pagi itu tak menghalangiku duduk di boncengan motor pak suami. Meski di kota sedang tidak hujan deras, namun hujan di hulu sana, membuat Sungai Karangmumus meluap sehingga menyebabkan banjir sepanjang daerah aliran sungai itu. Titik terparah ada mulai dari depan Mall Lembuswana sampai Pasar Segiri. Setelah menerobos banjir dan mencari celah genangan yang tidak dalam pada gang-gang kecil sampai juga di kantor pak suami. Malam sebelum pak suami mengirim pesan bahwa pagi ini akan pergi dinas ke Balikpapan. Bak pucuk dicita ulam tiba, langsung aku menyatakan ingin ikut. Bagiku, ke Balikpapan adalah pulang kampung yang sebenarnya. Karena ada banyak " keluarga " di sana. Mengapa ada tanda petik pada kata keluarga? Mau tahu cerita selanjutnya? Oke, dilanjut ya. Keluarga seperti bukan keluarga Jadi sejak pandemi melanda negeri ini, ada dua kota yang begitu kurindukan. Pertama: Bojonegoro Di kota ini aku dilahirkan dan ibuku berada seorang diri tanpa anak kandung di sisi

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi