Langsung ke konten utama

Hati yang Tertawan


Secangkir kopi dalam gelas putih polos itu masih mengepulkan asap. Pagi dingin selepas hujan deras semalam yang masih menyisakan rintik kecil mengurangi kepulan asap kopi lebih cepat. Tatapan matanya masih terpaku pada kumpulan tanaman anggrek dengan bunga kekuningan yang menikmati guyuran hujan, dari beberapa pot yang ada di rak bunga, hanya tersisa beberapa saja. Entah sudah berapa lama tangannya tak telaten lagi mengurus tanaman itu. 


Tiba-tiba senyum manis itu melintas dalam ingatannya. Senyum manis dari seseorang yang dulu begitu dipujanya. Namun di sudut hati terdalam menjadi nyeri tak terkira. 


Sebuah sentuhan lembut menyadarkan lamunannya. Tangan - tangan kecil memeluknya erat dari belakang. 

"Bunda  … ,"sapaan lembut menghampiri telinganya. 

"Wah sudah bangun anak bunda," serunya seraya menarik pelan tubuh mungil itu ke pangkuannya. Kebiasaan si bungsu itu selalu meminta atau memberi pelukan kala bangun dari tidurnya. 


Sisa pagi itu dinikmati Ranti berdua dengan anak bungsunya, Bayu dan dua anak gadisnya sudah meninggalkan rumah dari pukul 07.30 tadi. Bayu selalu keluar rumah lebih awal dan mengantar anak-anak gadisnya ke sekolah terlebih dahulu sebelum ke kantor. 


Setelah menyiapkan sarapan buat Al, si bungsu, diraihnya ponsel yang sedari tadi ada di meja kecil dekat ruang makan. Aplikasi warna hijau di gawainya sudah ratusan pagi itu, namun diabaikan saja. Matanya tertuju pada pesan tanpa nama tapi dihafal siapa pemiliknya. 

"Hai, sepagi ini ngapain aja manisku?

Jadi ketemuan siang nanti kan? 

Di tempat biasa, jangan lupa. 

Aku kangen berat nih. "


Jarinya bergerak ingin membalas. Namun diurungkannya. Sebuah nama terlintas dan segera ditekannya tombol dial.

" Halo Fida, bisa kita ketemuan? "

"Hai Ran, apa khabar. Pengen deh bilang tumben, tapi nanti kamu ngambek. Bisa, bisa banget. Apa sih yang nggak buat kamu. "


Sebelum Ranti menutup handphone dikirimkan pesan balasan pada sebuah nomor. 

"Maaf, hari ini aku nggak bisa. "

Bergegas ditaruhnya kembali gawainya. Tekadnya sudah bulat, ia ingin bertemu Fida dan mengurai beban hatinya. 


**

Setelah melepas pelukan Fida dan menyusut air mata, Ranti mulai membuka pembicaraan. Suaranya masih sengau. Fida menyodorkan sebotol air mineral dan secarik tisu baru. 

"Tenang Ran, aku tunggu sampai kamu siap kok. Pas banget, hari ini aku nggak ada jadwal. "

"Aku nggak tahu mengapa kejadian begini. Sungguh tak pernah ada masalah besar dalam kehidupan rumah tanggaku. Namun kehadirannya berbulan lalu ternyata masih tetap menyihirku. Aku jatuh dalam pesonanya. Semakin dalam."


Sesaat Ranti menghentikan bicaranya. Segera disusutnya air yang menggenang pada pelupuk matanya. Fida, menggenggam jemari tangannya yang lain, mengalirkan kekuatan untuk sahabatnya itu. Ia tahu persis kisah yang pernah ada antara Ranti dengan lelaki itu. Kisah yang ternyata tak pernah usai.


"Kau tahu? Hari-hariku menjadi penuh warna. Aku bergairah. Kukira ini hanya nostalgia masa lalu. Tapi tidak. Terlebih saat kutahu dia telah sendiri lagi. Ada harapan mekar di hatiku."


"Kau tahu? Dia berkata, jika aku tak bahagia dengan pernikahanku, dialah yang pertama ada untuk membawa bahagia padaku." Tangis Ranti pecah lagi. Kali  ini semakin sesenggukan. 


"Aku tahu ini salah. Tapi aku nggak bisa beranjak pergi darinya." lanjut Ranti. 


Fida hanya bisa memberi pelukan lebih erat lagi. Sungguh memberi nasehat pada orang yang jatuh cinta itu seperti menyodorkan gula merah, tapi tetap dikira coklat. 


"Aku ngerti Ranti, kalau hatimu sudah tenang. Pulang dan peluk anak-anakmu satu-satu ya. Merekalah masa depanmu. "


"Fida  … ? "

Digenggamnya kedua tangan Ranti lebih erat. 

"Ranti, sungguhnya hati kita lemah. Minta tolong sama Allah agar menjauhkan godaan syaitan dan bala tentaranya. Sungguh prestasi terbesar mereka jika berhasil memisahkan istri dari suaminya. Menghancurkan keluarga hingga tercerai berai Ayah atau Ibu dari anak-anaknya. "


Tangis Ranti pecah lagi, badannya lunglai tak bertenaga lagi. Fida kembali memeluknya. Doa-doa dilantunkan buat sahabatnya itu. 


**

Ranti memandang nanar sebuah foto pada galeri handphonenya. Al, bungsunya itu tampak gagah dengan seragam putih merahnya. Ia sudah sebesar itu sekarang. Lalu dua gadisnya terlihat semakin cantik di usia balasannya. Rasa kangen tak terperi memenuhi relung hatinya. Enam tahun rasanya berabad lamanya. 


Adakah jarak dan waktu dapat di pintas

Rasa sesal itu tak bisa ditebas. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa...

Ke Baitullah

Part 5 Berkah dari Kesalahan Karena keberangkatan umroh kita dari Jakarta, maka kami harus menuju Jakarta sebelum tanggal 23 Januari. Pagi menjelang siang di tanggal 22 Januari sampailah kita di Jakarta dan menuju Bekasi. Kami harus menjumpai Ibu yang telah terlebih dahulu dijemput adik dari Bojonegoro dan dibawa ke rumahnya di Bekasi. Bandara Sepinggan Balikpapan, para minimalis yang akan travelling. Hanya ini barang bawaan kami.  Sebelum sampai di Jakarta kami sudah meminta Adik menunjukkan rute termudah menuju rumahnya. Berdasarkan petunjuknya, kami harus naik bis damri dari Cengkareng ke Terminal Kampung Rambutan lanjut grab atau gocar ke Jati Melati. Tapi begitu di pool damri  Cengkareng, suami membeli tiket ke Bekasi kota. Tak apalah, beliau kan pernah kuliah di Jakarta semoga lebih tahu rute terdekat ke Bekasi. Nge WA adik lagi, menceritakan bahwa kita naik damri ke Bekasi. "Waduh, jauh lagi itu mah. Lewat daerah macet lagi. Karena terminalnya di Bekasi Ti...

Bukan Anak Pantai

Dulu saat pertama kali main keluar rumah Melalui dua jalan besar Dan kedapatan main di tepi laut dekat rumah Enaknya panik, hingga keluar nasehat panjang Lalu emak sadar, apalagi jaman kecil si emak juga suka ngelayap di alam terbuka dari sawah, sungai  hingga hutan Udah Dek...bebas deh main dialam asal izin dulu mau kemana, sama siapa dan aman  Di saat terakhir tinggal di Balikpapan, hobby mancingnya tersalurkan tiap sore di kolam dekat komplek. Kemudian setelah tinggal di Nunukan Mancing ke sungai, ngubek kolam, nyari ikan di laut dan main bola jadi kegiatan tiap hari. Luka  Biasa Anak lelaki ini,  biasa dapat luka.  Begitu Abinya menyemangati tiap pulang membawa luka Hingga suatu hari, terpeleset di dermaga pasar ikan Tergores tiram Luka dan berdarah "Nggak apa kan Bun..? Serunya sambil menahan tangis.  "Iya, nggak apa asal rajin diobati. Anak laki-laki Dek...biasa itu," Bunda menguatkan hati mesk...