Meski tinggal di kampung yang jauh dari pusat kota, aku si anak desa punya kebiasaan membaca sudah dilatih sejak dini oleh Bapak maupun Ibu. Kebiasaan membaca, bukan diajari membaca. Lha gimana caranya melatih kebiasaan membaca tanpa diajari membaca?
Ini… .!
Jadi begini, kebiasaan membaca itu pada balita bisa dilatih dengan melihat. Children see, children do begitu kan istilahnya. Kami terbiasa melihat Ibu dan Bapak membaca. Ibu dengan segala keterbatasannya di jaman dulu sudah rajin membaca buku di rumah tetangga yang punya banyak buku. Begitu pun Bapak.
Masa balita kami, belum ada buku - buku untuk balita selayaknya jaman kini. Tapi kami dikelilingi buku. Buku-buku lama Bapak dan Ibu juga majalah-majalah pendidikan yang menjadi bacaan Bapak dan Ibu yang seorang guru itu.
Terlebih Bapak pandai mendongeng. Setiap malam ada saja dongeng yang dituturkan sebagai pengantar tidur kami. Kadang cerita pewayangan seperti Mahabarata atau Ramayana.
Membaca sendiri bagiku bukan perkara mudah. Kalau di jaman sekarang mungkin aku sudah divonis disleksia yaitu gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis dan mengeja. Bayangkan hingga akhir kelas dua sekolah dasar , masih juga belum bisa membaca.
Kok bisa naik kelas? Itulah sabarnya guru-guru di jaman itu. Meski Ibu - Bapak menyarankan agar tidak dinaikkan kelas, tapi Ibu guruku di sekolah punya penilaian tersendiri sehingga tetap bisa naik kelas.
Tapi di awal kelas tiga, entah mengapa aku tiba-tiba bisa membaca. Lancar bahkan. Dan sejak saat itu, seperti mengejar ketertinggalan, langsung melesat menyelesaikan bacaan beberapa buku cerita anak-anak di perpus sekolah.
Sejak saat itu membaca menjadi kegemaran yang paling utama dimasa kecil setelah bermain di alam. Syukurnya, mendapat dukungan. Bapak berlangganan beberapa majalah juga koran. Ada majalah Penyebar Semangat, Jayabaya dan Koran Jawa Pos kalau itu. Dua majalah itu berbahasa Jawa. Tapi tetap suka, karena ada banyak cerita menarik.
Setiap liburan akhir tahun pelajaran, Bapak mengirimku ke rumah simbah di desa lain di kabupaten yang berbeda. Setelah beberapa hari biasanya aku ikut ke rumah Pak. Puh (panggilan untuk saudara Bapak yang lebih tua)
Pak. Puh dan Bu Puh masing-masing adalah kepala sekolah dasar, beliau suka berlangganan majalah juga. Sama, ada Jayabaya dan Penyebar Semangat yang berbahasa Jawa juga majalah Kartini dan Sarinah.
Wah… . Kalau sudah di rumah Pak Puh… tumpukan majalah-majalah itu jadi makanan sehari-hari. Rasanya bahagia banget.
Di jaman itu, toko buku masih belum ada di kota. Jika ingin membaca buku ya satu-satunya ngubek perpustakaan sekolah. Atau sepekan sekali ada perpustakaan keliling. Yang ini tentu sangat membahagiakan. Buku-buku di perpustakaan keliling lebih keren-keren. Aku mengenal cerita Lima Sekawan dari buku yang ada di perpustakaan keliling ini.
Terkadang, sekolah juga mendapat bantuan dari pemerintah pusat berupa buku-buku bacaan untuk perpustakaan. Sekali datang bisa dua atau tiga karung. Sekolah tempat Bapak juga pernah mendapat bantuan ini. Jika bantuan datang di musim penghujan, buku-buku itu akan mampir lama dirumah kami yang lebih dekat dengan kantor dinas pendidikan kecamatan. Itu karena sekolah Bapak jauh di pelosok yang jalannya masih asli tanah liat. Lumpur setinggi lutut sudah biasa terjadi di musim penghujan. Kalau membawa sepeda, iya sepeda bukan motor. Bukan sepeda yang dinaiki tapi orang yang akan menggendong sepeda. Bapak belum punya motor kala itu. Sementara jarak tempuhnya sekitar lima atau enam kilometer.
Nah disaat itu, keberuntungan ada padaku. Bisa baca buku sepuasnya hingga musim hujan usai. Jadi selama semusim itu aku akan menghabiskan stok buku bantuan itu. Tiga karung buku selama lima atau enam bulan. Bahagianya.
Begitulah anak desa nan mengenal buku dan menjadi pembaca buku.
Komentar
Posting Komentar