Setelan sekian lama menyimpan rasa dengan rapi lalu rasa itu terajut menjadi nyata, senang sekali bukan?
Kupandang kertas putih yang baru saja kukeluarkan dari amplop coklat. Jantungku berdebar kencang dan serasa hampir meledak ketika sebaris nama tertangkap mataku. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku. Ya Allah, benarkah ini. Sungguh rasa yang absurd sekali.
Setelah sekian lama, tak ada yang tahu. Hanya dinginnya lantai kamarku yang jadi saksi bisu kala nama itu kusebut dalam doaku. Semua tersimpan rapi, bahkan pada sahabat terdekat ku.
Kamal Abdurrahman, sebuah nama yang kukenal ketiga aku bergabung dalam organisasi dakwah kampus. Dialah sang ketua. Entah sejak kapan aku menyimpan simpatiku, tak kusadari hampir setahun berinteraksi meski terbatas urusan kegiatan kampus rasa suka itu mulai bersemi. Hingga kini ketika aku hampir meletakkan jabatanku sebagai sekretaris.
Ya, kesibukan mengerjakan tugas akhir dan masa bakti dua tahun berturut-turut sudah cukup bagiku untuk undur diri meski tak mundur dalam membersamai dakwah di kampus tercinta ini.
Tak ada kebersamaan lebih dari urusan dakwah. Tak ada komunikasi selain membicarakan program dan kegiatan. Namun pesonanya tak mampu kutepiskan.
Ah andai bisa, aku ingin agar tak seharusnya ada rasa suka. Namun apapun upayaku, tak jua mampu menghapus rasa.
Dua hari lalu mbak pembinaku memanggilku.
" Dee, kuliah hampir kelar kan, tinggal tugas akhir ya? "tanya mbak Hamidah
" Iya mbak. Harus ngebut nih, biar segera kelar. Dea kan ada adik yang ngantri masuk kampus tahun ini. Gantian. " jawabku
"Sudah siap nikah? "
Uuh pertanyaan mbak Hamidah ini menohok banget sih. "Emm, gimana ya mbak. Dibilang siap ya harus siaplah. "
" Kok gitu Dee? "
" Hehehe, maaf mbak. Dea siap kok. "
Eh beneran nih Dee? Batinku lanjut bertanya. Meski nikah sebelum lulus kuliah termasuk rencanaku kala menuliskan mimpi yang akan dicapai setelah lulus SMA, giliran beneran dapat tawaran malah grogi juga.
Setelah beberapa kali sholat istikharah akhirnya aku mantap menerima proposal pernikahan itu. Kulihat senyum mbak Hamidah setelah menentukan hari untuk nadzor atau melihat langsung, duile..kan sudah sering ketemu langsung.
" Nggak gitu, Dee, tapi kali ini kan lebih spesifik membahas tindak lanjut proposal."
" Iya, mbak. Dee tahu kok. Lagian selama interaksi Dee juga nggak pernah deket-deket banget kok. "
"Yaudah, pas ketemu nanti Dea bisa tanya-tanya dan menggali informasi lebih banyak. Ini tentang membangun rumah tangga Dee, nggak main-main. Makanya siapin pertanyaan sebanyak yang Dee ingin tahu. "
"Oke mbak. "
***
Tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk menyemai harapan. Tentukan benang kasih yang hampir menghasilkan seutas ikatan itu harus kembali terurai.
Semua upaya hampir final. Aku dan dia telah bersepakat melanjutkan. Namun ketika harus berhadapan dengan keluarga besar, batu sandungan satu persatu menghadang. Usaha menyingkirkan terhadang satu batu besar yang bernama ketidaksetujuan salah satu pihak.
Dengan dalih kesukuan.
Ya Rabb… sesuatu yang tak bisa ku ubah. Sungguh siapa yang bisa merencanakan dan meminta dilahirkan oleh suku tertentu di negeri ini.
"Maaf Dee, aku sudah berusaha."
Pesan terakhir sebelum hubungan kami benar - benar usai.
Komentar
Posting Komentar