Langsung ke konten utama

Saat Pendidikam Masih Identik dengan Persekolahan


Beberapa hari lalu publik ramai membicarakan sosok artis yang lulus studi di Stanford University. Tak hanya satu gelar master, double gelar lagi. Sesuatu yang sangat membanggakan bagi sebagian besar penduduk negeri ini. Hebat lah, terlebih artis yang biasanya ketika sudah mendapatkan penghasilan besar dengan mudah tidak lagi berminat belajar atau melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi.

Saya tak berminat ikut pro kontra dengan hal ini, meski ada sebagian yang berpendapat wajar dong dengan previllage yang dimilikinya. Orang tua yang mendukung dengan segala fasilitas yang sanggup mereka berikan. Lihat saja rekam jejak sekolah dari TK hingga program masternya bukan sekolah murah. Orang biasa nggak mungkin bisa, terlebih tak ada kocek yang bisa dirogoh dalam-dalam.

Lalu ramai orang membandingkan dengan banyak sosok berprestasi di negeri ini yang kesulitan biaya sekolah. Boro-boro bisa mengambil master, lulus ujian masuk Perguruan tinggi idaman saja tak lantas membuat bahagia tapi malah menangis karena memikirkan harus mendapatkan biaya dari mana. Meski pada akhirnya tak sedikit juga yang berhasil melewati semua tantangan.

Jadi ingat salah satu murid saya pada sebuah sekolah di Balikpapan. Sekolah pesantren atau notabene madrasah yang biasa dipandang sebelah mata karena fokus mengajarkan agama dengan porsi lebih banyak, di pinggiran pula.

Tak ada yang istimewa dari anak itu, biasa saja waktu sekolah, prestasi hampir nggak ada. Namun mempunyai kegigihan dan daya juang yang luar biasa. Kini, mantan murid saya itu telah selesai menempuh program doktoral di sebuah universitas di Korea Selatan setelah program masternya di negara yang sama dengan beasiswa. Bahkan lebih dari satu universitas yang bersedia memberi beasiswa. Bahkan kini ia mendapat tawaran kerja di Amerika. 

Benang merah yang dapat ditarik adalah siapapun bisa mendapatkan pendidikan yang ia idamkan. Jika pun tidak makan ada banyak alternatif lain. Yang mendapat fasilitas kemudahan dan yang harus berjuang semua sama. Proses itulah yang harusnya kita hargai dari siapapun dia. 

Pendidikan juga tidak identik dengan persekolahan. Jika sekolah adalah segalanya, maka hanya orang yang bisa membayar lebih yang akan sukses meraih sekolah impian untuk mewujudkan cita-citanya. Sekolah yang unggulan dan berfasilitas lengkap yang biasanya mahal. Murid saya itu contohnya, keterbatasan dikalahkan dengan kegigihan dan kemauan untuk terus belajar.

Jika pendidikan hanya dengan sekolah, tentu tak ada anak Homeschooling yang sukses. Nyatanya tak sedikit anak HS yang bisa masuk PTN ternama. Sekolah hanyalah sarana, salah satu sarana mendapatkan pendidikan. Bahkan terkadang sekolah tak benar-benar menjalankan fungsi pendidikan.

Buktinya, berapa banyak lulusan persekolahan yang yah gitu deh, berbuat curang. Tingginya sekolah yang ditempuh tak memberi nilai lebih dalam hidupnya. Koruptor juga rata-rata lulusan sekolah tinggi.

Hakekatnya pendidikan itu, mengetahui, menjadikannya pola pikir dan mengaplikasikan dalam perilaku. Dan cita - cita tertinggi pendidikan itu adalah menjadi manusia yang utuh sesuai dengan misi penciptaannya. Manusia yang berbudi luhur serta banyak memberi manfaat pada semesta. 

Sementara sekolah hanya sekedar tahu, menguasai ilmu, diulang dalam ujian dapat nilai, hilang tanpa bekas. Apalah artinya. Akhirnya sekolah sekian tahun, hanya melahirkan manusia-manusia yang tak terdidik bahkan untuk hal yang kecil semisal membuang sampah. 

Jadi ingat salah satu ustad atau penceramah dari yang sedang naik daun dengan gayanya yang khas, tawadhu namun cerdas dan berlogika. 
"Saya nggak suka sekolah, tapi saya suka belajar" ~Gus Baha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa...

Lembah Long Ba : Lelaki Berkalung Siung Harimau

Part 3. Lelaki Berkalung Siung Harimau Auuuugh… ! Aku ambruk tanpa sempat menggapai apapun untuk menahan berat badanku. Rasa sakit segera menjalar ketika tubuhku menimpa benda yang ada di bawahku. Sialnya malam begitu gulita benar. "Pak Tegar… . " Suara Simpai terdengar. Aku berusaha bangkit setelah sedikit menguasai keadaan. Rupanya meja yang kutabrak barusan. Mengapa berada tepat di depan pintu kamar, padahal tadinya kuletakkan dekat pintu keluar? "Kenapa mejanya jadi ada disini? " tanyaku pada Simpai. "Eh iya, maaf Pak. Saya geser meja biar tempat buat tidur jadi lebih luas. Juga biar gampang kalau harus keluar rumah, " jawab Simpai sambil menyalakan lentera. "Bapak ada yang luka? " "Sudah, nggak apa-apa. Geser sedikit ke samping pintu kan bisa, " jawabku lalu beranjak balik ke kamar. "Jangan lupa, matikan lagi lenteranya, takut jatuh dan jadi kebakaran. " Malam pun berlalu dengan tenang, tapi bukan tak terjadi apa - apa. ...

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi...