Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih.
Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasikan dalam pembelajaran sastra nantinya. Menurutnya, sastra masuk kurikulum tidak serta merta memberi rujukan buku-buku sastra yang akan dijadikan materi pembelajaran. Perlu kajian lebih dalam lagi, sebab pembelajaran sastra sejatinya adalah membuka wacana berpikir siswa agar bisa mengemukakan pikiran baik secara lisan maupun tulisan.
Lebih jauh budayawan tersebut menyatakan bahwa buku-buku yang direkomendasikan harusnya melalui proses kurasi yang ketat terlebih dahulu dengan melibatkan orang-orang yang kompeten dan merdeka. Hal senada juga dikemukakan oleh wakil ketua bidang sastra Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani ( Btw saya pernah ikut webinar dengan narasumber beliau ini… hehehe pengumuman)––buku panduan yang merujuk pada 177 buku rekomendasi itu memudahkan siswa mencarinya,tapi juga memunculkan pertanyaan standar kurasinya.
Baiklah, terlepas dari gonjang-ganjing itu, setidaknya ada usaha agar anak-anak membaca buku.
Karya sastra dalam Pengalaman Kebahasaanku
Pada malam itulah Hanafi baharu dapat 'mengulak' utangnya kepada ibunya, yaitu utang, yang kira-kira belum akan langsai terbayar meskipun ia memperbuat mahligai tinggi bagi ibunya itu. Hanafi mengakulah sekarang bahwa ibunya bukan orang bodoh oleh karena itu makin timbullah adab dan cinta kepada orang tua itu sebab selamanya itu ibunya hanya memperturutkan saja segala kehendaknya dengan tidak melakukan kekerasan sekali juga.
Corrie - oh, sesungguhnya banyak benarlah yang menyakitkan hatinya ditimbulkan oleh Corrie. Terutama sekali kata-katanya pada hari perceraian. Bukanlah dengan terus terang ia menyatakan sesalnya 'karena sudah membuang diri, menurutkan orang Melayu: Bukanlah rendah sekali penghinaan yang serupa hendak melekatkan tanganlah ia kepada perempuan yang menghinakannya itu. Tapi ... sebalik lagi. Apakah ia, Hanafi, tidak turut bersalah? Tidak mulai bersalah? Ya, jika dipikir-pikirannya, kesalahan Corrie belum berapa, salahnya ialah karena si suami yang celaka mulai memperbuat kesalahan besar. Sungguh besar cinta Corrie dahulu kepadanya, tapi sekarang-dua helai surat Hanafi' dikirimkannya kembali dengan tidak dibuka dibacanya!
(Salah Asuhan, Abdoel Moeis Tahun 1928)
Ayo siapa yang pernah membaca cuplikan novel di atas? Yap, bagi generasi lama macam saya, cuplikan-cuplikan karya sastra penulis terdahulu baik angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 50 maupun angkatan 66 kerap hadir pada buku pelajaran Bahasa Indonesia. Membaca cuplikan karya sastra pada buku Bahasa Indonesia ini selalu menyenangkan. Selalu membuat penasaran ingin membaca seluruhnya. Sayang, zaman itu di kampungku masih buku bacaan masih sangat langka. Dari cuplikan karya sastra inilah, saya jatuh cinta pada pelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Pelajaran Favorit
Ya, pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran paling saya sukai waktu sekolah. Saya akan antusias berangkat ke sekolah jika hari itu ada pelajaran Bahasa Indonesia. Saya merasa mudah sekali menguasai Bahasa Indonesia bahkan sebelum guru menyampaikan di sekolah. Bahkan materi-materi pelajaran Bahasa Indonesia itu sudah saya baca sebelum waktunya, bukan karena kerajinan, tapi di rumah banyak buku materi pelajaran Bahasa Indonesia. Bapak saya guru Bahasa Indonesia.
Namun, bukan itu alasan utama saya suka pelajaran Bahasa Indonesia. Alasan terkuatnya karena pada pelajaran Bahasa Indonesia terutama kesusastraan, saya menemukan cuplikan-cuplikan cerita pendek, novel, pantun, dan puisi. Buku pelajaran Bahasa Indonesia zaman saya sekolah menyajikan banyak cuplikan-cuplikan novel atau cerita pendek kemudian diminta untuk menganalisis. Saya paling suka bagian ini. Apalagi buku bacaan di kala itu masih sangat langka di kampung, tempat tinggal saya.
Kesukaan saya pada pelajaran Bahasa Indonesia selalu menorehkan nilai yang cemerlang baik di sekolah menengah pertama maupun atas. Rasanya tanpa belajar keras pun, nilai 9 selalu nangkring di raport. Bangga rasanya, masih ada yang bidang yang bernilai lebih dibalik prestasi saya yang biasa-biasa saja. Tentu saja, beda dengan adik-adik yang selalu unggul pada pelajaran Matematika dan IPA bahkan selalu ranking satu dan mewakili sekolah lomba bidang studi Matematika IPA.
Sementara saya, hanya bisa unggul pada pelajaran Bahasa Indonesia. Satu-satunya lomba yang bisa saya ikuti saat masa sekolah hanyalah lomba mengarang dan baca puisi. Syukurlah, meski bukan di bidang yang membanggakan, masih bisa mewakili sekolah ikut lomba. Tidak menang juga, tapi menyenangkan.
Suka tapi Tidak Ditekuni
Meski suka, tak lantas pelajaran satu ini saya tekuni. Saat itu pengetahuan masih terbatas sehingga arahan untuk memilih bidang studi lanjutkan juga kurang terfasilitasi. Harusnya kita meninggikan gunung, bukan menimbun lembah supaya lebih tinggi. Harusnya menonjolkan kelebihan dengan mentoring dan coaching, bukan meninggikan lembah dengan les dan kursus.
Pemikiran bahwa belajar Bahasa Indonesia hanya berakhir menjadi guru, membuat saya memutar haluan. Apalagi ketika SMP saya jatuh cinta pada pelajaran IPA khususnya Biologi. Sampai akhirnya di SMA pun saya lebih memilih biologi sebagai pelajaran favorit dan duduk manis sebagai siswa jurusan Biologi. Dari Biologi inilah saya berharap bisa menjadi jembatan meraih cita-cita, dan itu bukan untuk menjadi guru.
Komentar
Posting Komentar