Auuuugh… ! Aku ambruk tanpa sempat menggapai apapun untuk menahan berat badanku. Rasa sakit segera menjalar ketika tubuhku menimpa benda yang ada di bawahku. Sialnya malam begitu gulita benar.
"Pak Tegar… . " Suara Simpai terdengar.
Aku berusaha bangkit setelah sedikit menguasai keadaan. Rupanya meja yang kutabrak barusan. Mengapa berada tepat di depan pintu kamar, padahal tadinya kuletakkan dekat pintu keluar?
"Kenapa mejanya jadi ada disini? " tanyaku pada Simpai.
"Eh iya, maaf Pak. Saya geser meja biar tempat buat tidur jadi lebih luas. Juga biar gampang kalau harus keluar rumah, " jawab Simpai sambil menyalakan lentera. "Bapak ada yang luka? "
"Sudah, nggak apa-apa. Geser sedikit ke samping pintu kan bisa, " jawabku lalu beranjak balik ke kamar. "Jangan lupa, matikan lagi lenteranya, takut jatuh dan jadi kebakaran. "
Malam pun berlalu dengan tenang, tapi bukan tak terjadi apa - apa. Saat bangun pagi dan cahaya matahari sudah menerangi kamar, kulihat rambut-rambut berserakan di tempat tidur, bahkan menempel di selimutku semalam. Aku bergidik ngeri, meski tak terasa apapun semalam kecuali suara langkah kaki di luar.
Berulang kubaca istighfar, tiga surah terakhir dan shalawat lalu kubersihkan kamar. Niatku memanggil Simpai untuk menanyakan semua kejadian yang menimpaku. Tapi kuurungkan, pemuda tanggung itu masih mentah untuk masalah ini.
Setelah semua beres, aku bergegas membuat sarapan. Meski hari ini libur sekolah, ada upacara adat di Rumah Kubu siang nanti, aku ingin melihat sambil berkenalan dengan penduduk setempat yang belum sempat kulakukan sejak kedatanganku kemarin. Harus berusaha kenal dan dekat, begitu saran dari Pak Jauri.
"Usahakan datang kalau ada upacara adat, atau sesekali bantu kegiatan bercocok tanam di ladang, dengan begitu kita berbaur dengan masyarakat setempat. " Kembali kuingat nasehat Pak Jauri kala itu.
Baru saja kompor kunyalakan. Simpai datang membawa bungkusan.
"Apa itu? " tanyaku.
Seraya mengangkat bungkusan itu ia menjawab, "Sarapan buat kita Pak, Mamak yang masak. "
Segera dibukanya bungkusan makanan dari mamaknya. Senyumnya mekar seketika. "Ini enak sekali, nasi adan, tung ubi, dan blusut juga ikan bakar dan ayam. Woa Mamak masak banyak karena ada upacara. Ayo Pak Tegar kita sikat! "
Selepas sarapan aku dan Simpai bergegas menuju rumah kubu. Sebuah rumah panggung panjang dari kayu ulin yang kuat, rumah yang hanya dimiliki oleh tetua adat, kepala kampung atau orang yang disegani di sini. Tak banyak, satu desa hanya ada satu dan menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Halaman rumah adat sudah ramai ketika kami sampai. Beberapa lelaki dewasa berpakaian adat berbahan kayu yang berukir. Pada kepalanya terdapat topi bermanik dan bulu burung enggang menghiasi sisi bagian depan. Seorang kutahu kepala kampung dan seorang lagi yang berwajah agak seram, menurutku, dan baru kulihat hari ini. Di lehernya terdapat beberapa kalung berhias siung atau taring hewan, yang paling mencolok sebuah siung paling besar, taring harimau.
Ngeripak ulung adalah rangkaian upacara adat yang diawali dengan ngukab fulung. Tujuannya menjalin hubungan dengan alam agar diizinkan membuka lahan untuk mengolahnya. Dimulai dari mencari lokasi yang tepat, menyiapkan, menanam dan mengambil hasil. Nanti ketika panen akan ada upacara pesta nuwi ulung. Masyarakat Dayak Lundayeh memang sangat dekat dengan alam, bahkan menjaga kelestarian. Meski membuka lahan untuk pertanian mereka benar-benar mempertimbangkan dampak kedepannya.
Upacara berjalan lancar dan selesai dengan baik. Aku masih belum beranjak dari halaman rumah kubu meski satu persatu penduduk meninggalkan tempat itu. Kunikmati ukiran yang menghias tiang-tiang rumah kubu. Ukiran arit linawa namanya, menggambarkan tumbuhan yang hidup di hutan Kalimantan.
Sebuah tangan menjulur ke arahku dari samping. Perlahan kupalingkan wajah menghadapnya. Seketika jantungku serasa meloncat keluar. Sorot mata yang tajam, seperti menguliti tubuhku. Aku hanya bisa diam terpaku.
Dia, lelaki berkalung siung harimau.
(Bersambung)
Notes :
Nasi Adan : nasi dari beras adan, hasil pertanian andalah masyarakat Krayan. Berat paling enak dan jadi makanan raja pada jaman dahulu.
Tung Ubi : sayur dari daun ubi (daun singkong) yang ditumbuk
Blusut : sambel dari bunga kecombrang, rasanya pedes semriwing
kirain yg punya tangan setan 😅😅😅
BalasHapus