Part. 1 : Suara-Suara di Malam Pertama
Tiiiiing..., suara lentingan yang tak keras namun cukup panjang membuat tidurku sedikit terganggu. Setelah berulang, akhirnya tidurku benar-benar terganggu. Kubuka mata dan memaksimalkan pupil mendeteksi cahaya, nihil. Yang ada hanya gulita semata. Listrik yang hanya menyala 8 jam dalam sehari dari pukul 18.00-00.00 membuatku berkeyakinan saat ini sudah dinihari. Kuraba-raba sekitarku untuk mencari gawai pun percuma, karena setelah sekian menit tak kutemukan juga. Aku terlalu lelah sekian hari dalam perjalanan hingga ketika sampai tempat ini sore tadi, setelah berbagai acara seremonial langsung kurebahkan badan di kamar rumah dinasku.
Akhirnya suara itu hilang tapi tak seberapa lama suara gonggongan anjing bersahut-sahutan. Kututup kupingku dengan batal, biarlah mereka beradu vokal, aku masih mengantuk dan ingin tidur lebih lama lagi. Wajar saja, selain warga yang rata-rata punya anjing, hutan belantara tak jauh dari desa ini pun pasti banyak anjing , serigala dan sejenisnya. Suasana seperti ini sudah biasa bagiku, hampir setahun aku menjalani program Sarjana Mengajar (SM3T) di Papua dan menjadi syarat untuk ikut tes kemarin, meski yang sekarang ini lebih terasa aneh bahkan sejak pertama masuk wilayah ini sore tadi.
****
Meski bukan pilihan, mendapatkan penempatan di desa ini tetap harus disyukuri, setidaknya cita-cita mengabdikan diri untuk pemerataan pendidikan di Indonesia dapat terwujud. Meski peranku tak seberapa, hanya GGD (Guru Garis Depan) sebuah program pemerintah dalam rangka meningkatkan SDM hingga daerah terdepan,terluar dan tertinggal di negeri ini.
Dua hari dalam perjalanan. Berawal dari Surabaya- Tarakan, lanjut transit di kota Nunukan menunggu pesawat kecil yang melakukan penerbangan perintis ke Krayan tiap dua hari sekali. Itu pun untuk pegawai yang akan bertugas atau penduduk yang sedang ada urusan darurat. Pesawat kecil dengan kabin yang berisi 12 orang itu mendarat dengan mulus di Bandara Yuvai Semaring di Long Bawang Kecamatan Krayan, sebuah wilayah yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia. Masih 8 jam perjalanan lagi yang harus kutempuh untuk sampai di desa Long Ba sebuah desa di kaki pengunungan yang dingin.
Jangan bayangkan perjalanan yang mulus dan lancar, 8 jam dalam mobil, keluar masuk hutan serasa off road jika tidak mengalami mogok berjam-jam yang akhirnya diputuskan jalan kaki puluhan kilo mencapai desa terdekat agar tak tidur di hutan. Masih mending di Papua, meski tak ada sinyal tapi jalannya mulus beraspal.
Long Ba, adalah desa nan sejuk karena berada di kaki pegunungan, saat mencapai gerbang desa, nampak desa yang subur dengan sawah berpadi di setiap sisi jalan. Bangunan pertama yang nampak adalah gereja dengan bagian depan terdapat bangunan kecil berpintu dua dan berjendela di sisi kanan dan kirinya. Terdapat menara yang tak seberapa tinggi namun terlihat mencolok, ada lambang salib terlihat jelas. Sebuah tantangan tersendiri bagiku sebagai seorang muslim.
****
Beb...beeeeb...beeeb, bunyi alram hapeku nyaring di telingaku. Aneh padahal semalam kucari-cari tak ketemu, sekarang begitu dekat denganku. Hah waktu sholat subuh Indonesia bagian barat, artinya aku terlambat sholat hampir setengah jam, pantas meski masih remang mataku sudah bisa melihat benda di sekitar. Segera kutunaikan kewajibanku dan bersiap menuju sekolah pagi ini. Sudah tak sabar ingin melihat tempatku mengajar. Tiiing..., suara yang semalam kembali terdengar. Tak lama berganti dengan ketukan di pintu rumah dinasku. Bergegas kugapai pintu dan membukanya. Sesosok tubuh menyembul di balik pintu dan tersenyum padaku.
“Hai..., “sapaku padanya.
“Selamat pagi Pak Guru, sudah siap ke sekolah hari ini?” tanyanya.
“Siap dong! Boleh kenalan? Saya Tegar,”jawabku seraya mengulurkan tangan perkenalan.
“Boleh dong Pak Tegar, saya Jauri rekan kerja Pak Tegar. Sesama guru juga, hanya bedanya saya lebih dahulu di sini, tepatnya di desa sebelah. Sebenarnya saya mengajar di sekolah dasar desa sebelah, tapi karena di sini masih belum ada gurunya maka saya diperbantukan di sini sebagai guru merangkap kepala sekolah.” Pak Jauri menerima tanganku sambil menjelaskan panjang lebar.
“Oh berarti atasan saya dong,” sahutku dengan sedikit memberi penghormatan.
“Wah bukan begitu Pak Tegar, saya baru 3 tahun diangkat menjadi PNS daerah dan ditempatkan di Krayan ini. Jadi kayaknya kita seumuran. Oh iya saya asli Nunukan, tepatnya sih kelahiran Nunukan dari orangtua yang asli Jawa dan merantau ke sini. “
“Begitu ya... eh maaf berdiri saja dari tadi,” kataku.
“Nggak apa, kebetulan sudah siang juga. Ayo ke sekolah sekarang,”ajaknya.
Sesaat setelah meninggalkan rumah, bunyi lengkingan terdengar lagi. Kali ini lebih jelas, seperti suara lonceng.
“Oh itu suara lonceng gereja, biasa dibunyikan pada jam-jam tertentu, “ jelas Jauri ketika melihatku tertegun.
Ah bisa jadi, dan mungkin semalam aku berada dalam kondisi lelah yang sangat, antara sadar dan tidak, sehingga suara itu terdengar aneh. Semoga malam nanti, tak ada lagi perasaan aneh hingga aku bisa menikmati malam dengan tenang.
(Bersambung)
Wah, ini kisah nyata yang dijadikan fiksi ya, mb. Mantab, penasaran dengan selanjutnya
BalasHapusIdenya kisah nyata, tapi jalan cerita, tokoh dan latar tempatnya fiksi.
HapusAsyiiik... aku jadi penasaran lanjutannya.
BalasHapusTerima kasih sudah mau menikmati.
Hapuswow, terasa nyata banget kak, apalagi bagian jetlag langsung terbayang. Duh deg-degan itu suara lonceng apa yak? ditunggu up nya kak :D
BalasHapusTerima kasih, sudah mampir ke sini, semoga suka.
HapusSuka banget, di awal cerita sudah menggambarkan dengan detail latarnya jadi bisa bayanginnya
BalasHapus