Meski tubuhku bergetar hebat, kuusahakan memberi sikap hormat. Bibir lelaki itu komat kamit tapi tak kudengar sedikitpun suara. Tatapan matanya yang tajam tak lepas dariku. Aku menunduk, dan tetap dalam posisi semula sampai menarik napas pun aku takut. Tak lama Simpai menghampiri kami sehingga suasana kaku sedikit cair. Segaris senyum tiba-tiba kulihat dari bibir lelaki itu, hatiku sedikit tenang.
"Maaf Pak, saya Tegar guru baru di SD Long Ba ini. " Kucoba memperkenalkan diri.
"Iya, saya tahu. Kepala kampung sudah membicarakan denganku sebelum kedatangan Pak. Tegar ke sini. Selamat bertugas di desa kami. Titip anak-anak, didik dengan benar dan jangan sampai merusak lingkungan. " Tutur kata lelaki itu tegas namun cukup menenangkan dan seketika bayangan wajah garangnya lenyap, tapi wibawanya keluar.
Yanse Yele Mangi, demikian nama yang kudengar setelah aku memperkenalkan diri. Seorang pemangku adat, orang yang paling dituakan setelah kepala kampung. Ditangannya segala keputusan berada, bahkan kepala kampung kerap meminta pertimbangan sebelum memutuskan suatu perkara.
Setelah memberi pesan, lelaki itu pergi meninggalkan kami menuju bagian lain rumah kubu. Aku dan Simpai pun pulang ke rumah. Anehnya sejak pertemuan dengan tetua adat siang itu, tak ada lagi kejadian aneh saat malam hari di rumahku. Setidaknya aku mulai merasa lega, dan bisa istirahat dengan tenang di malam hari.
***
Pagi itu, Simpai dan Bapaknya mengajakku masuk hutan. Mereka mengajakku mencari kayu yang akan digunakan membangun satu ruangan lagi di sekolah. Kepala adat dan kepala kampung telah setuju menambah ruangan sederhana agar tahun ajaran baru nanti daya tampung sekolah lebih maksimal, tak perlu menebang pohon, cukup mencari pepohonan yang tumbang.
Masyarakat Dayak memang sangat menjaga hutan, bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan. Tanah laksana ibu dan hutan bagaikan ayah. Makanya mereka sangat menentang illegal logging. Sayangnya, masih banyak yang menuding masyarakat setempat lah penyebab kebakaran hutan dengan ladang berpindah, padahal pembukaan ladang hanya dilakukan pada tanah-tanah yang tak terpakai, yang tidak ditumbuhi pepohonan. Industri modern yang paling bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan. Kami berangkat ke hutan setelah menyiapkan bekal secukupnya.
Jalan menuju hutan hanya setapak, yang semakin ke dalam semakin tak terlihat tapaknya, namun Bapak Simpai punya cara menandai lintasan. Nyanyian hutan seperti orkestra yang padu dan harmoni. Ada lagu belalang pung, cericit burung, juga desiran angin. Semakin masuk ke dalam, pepohonan semakin tinggi dan besar. Beda dengan hutan sekunder atau tersier, hutan di sini seperti bernyawa. Cabang dan rantingnya seperti tangan-tangan yang terjulur. Daun-daunnya seperti mata yang memandang tajam.
Simpai dan Bapaknya mencari dan menandai tempat yang ada pohon yang tumbang, dan menggambarkannya pada selembar kertas agar nanti lebih mudah ditemukan ketika kembali bersama penduduk desa untuk mengambilnya kembali.
Setelah semua beres kami kembali ke perkampungan, tapi sebelum sampai jalan setapak yang pertama kali kami lalui, Bapak Simpai mengalihkan langkah menuju sisi yang lain. Kami menemukan sebuah gubuk. Tiang penyangga yang terbuat dari kayu ulin masih berdiri kokoh, tapi beberapa atapnya sudah lapuk.
Tak jauh dari gubuk itu ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa besar, tak selebat di dalam tadi. Ada banyak bebatuan besar dan beberapa benda yang tidak kuketahui dengan pasti. Rasa penasaran menyergapku. Setelah melakukan ritual penghormatan, Bapak Simpai menjelaskan bahwa mereka akan ziarah ke makam nenek moyangnya.
"Ini kuburan kuno, tempat nenek moyang kami bersemayam, " jelasnya.
Aku begidik, tapi berusaha setenang mungkin. Apa sih yang membuat takut, jasad yang sudah tak mampu berbuat apapun.
"Ayo kita lihat. " Suara Bapak Simpai mengejutkanku.
Jalan menuju hutan hanya setapak, yang semakin ke dalam semakin tak terlihat tapaknya, namun Bapak Simpai punya cara menandai lintasan. Nyanyian hutan seperti orkestra yang padu dan harmoni. Ada lagu belalang pung, cericit burung, juga desiran angin. Semakin masuk ke dalam, pepohonan semakin tinggi dan besar. Beda dengan hutan sekunder atau tersier, hutan di sini seperti bernyawa. Cabang dan rantingnya seperti tangan-tangan yang terjulur. Daun-daunnya seperti mata yang memandang tajam.
Simpai dan Bapaknya mencari dan menandai tempat yang ada pohon yang tumbang, dan menggambarkannya pada selembar kertas agar nanti lebih mudah ditemukan ketika kembali bersama penduduk desa untuk mengambilnya kembali.
Setelah semua beres kami kembali ke perkampungan, tapi sebelum sampai jalan setapak yang pertama kali kami lalui, Bapak Simpai mengalihkan langkah menuju sisi yang lain. Kami menemukan sebuah gubuk. Tiang penyangga yang terbuat dari kayu ulin masih berdiri kokoh, tapi beberapa atapnya sudah lapuk.
Tak jauh dari gubuk itu ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa besar, tak selebat di dalam tadi. Ada banyak bebatuan besar dan beberapa benda yang tidak kuketahui dengan pasti. Rasa penasaran menyergapku. Setelah melakukan ritual penghormatan, Bapak Simpai menjelaskan bahwa mereka akan ziarah ke makam nenek moyangnya.
"Ini kuburan kuno, tempat nenek moyang kami bersemayam, " jelasnya.
Aku begidik, tapi berusaha setenang mungkin. Apa sih yang membuat takut, jasad yang sudah tak mampu berbuat apapun.
"Ayo kita lihat. " Suara Bapak Simpai mengejutkanku.
Apa? Melihat kuburan kuno. Boleh juga, tapi menegangkan.
Sesampainya di tempat yang dituju, benda yang tak kutahu pasti tadi adalah tempayan - tempayan besar dengan tutupnya yang ditindih batu atau kayu. Ada beberapa tempayan di tempat ini. Bapak Simpai mengajakku melihat salah satunya.
Setelah komat kamit melafalkan mantera entah apa maknanya, perlahan Bapak Simpai menggeser batu yang menindih tempayan. Tutup tempayan lalu digeser perlahan. Seketika terbuka dan kami melongok ke dalam. Nampak tempayan yang sudah kosong tanpa isi. Lalu kami berpindah ke tempayan yang lain. Kali ini kami menjumpai tulang belulang dan tengkorak yang masih utuh.
Ada yang aneh pada raut wajah Bapak Simpai setelah itu, mukanya terlihat tegang sekali, bergegas ia meninggalkan tempat itu, aku dan Simpai pun berlari kencang mengikutinya.
Kraaak… Bum!
(Bersambung)
Sesampainya di tempat yang dituju, benda yang tak kutahu pasti tadi adalah tempayan - tempayan besar dengan tutupnya yang ditindih batu atau kayu. Ada beberapa tempayan di tempat ini. Bapak Simpai mengajakku melihat salah satunya.
Setelah komat kamit melafalkan mantera entah apa maknanya, perlahan Bapak Simpai menggeser batu yang menindih tempayan. Tutup tempayan lalu digeser perlahan. Seketika terbuka dan kami melongok ke dalam. Nampak tempayan yang sudah kosong tanpa isi. Lalu kami berpindah ke tempayan yang lain. Kali ini kami menjumpai tulang belulang dan tengkorak yang masih utuh.
Ada yang aneh pada raut wajah Bapak Simpai setelah itu, mukanya terlihat tegang sekali, bergegas ia meninggalkan tempat itu, aku dan Simpai pun berlari kencang mengikutinya.
Kraaak… Bum!
(Bersambung)
Makin menarik. Serem.
BalasHapus