Langsung ke konten utama

Lembah Long Ba : Kuburan Kuno di Tepi Hutan


Part 4. Makam Kuno di Tepi Hutan

Meski tubuhku bergetar hebat, kuusahakan memberi sikap hormat. Bibir lelaki itu komat kamit tapi tak kudengar sedikitpun suara. Tatapan matanya yang tajam tak lepas dariku. Aku menunduk, dan tetap dalam posisi semula sampai menarik napas pun aku takut. Tak lama Simpai menghampiri kami sehingga suasana kaku sedikit cair. Segaris senyum tiba-tiba kulihat dari bibir lelaki itu, hatiku sedikit tenang.

"Maaf Pak, saya Tegar guru baru di SD Long Ba ini. " Kucoba memperkenalkan diri.

"Iya, saya tahu. Kepala kampung sudah membicarakan denganku sebelum kedatangan Pak. Tegar ke sini. Selamat bertugas di desa kami. Titip anak-anak, didik dengan benar dan jangan sampai merusak lingkungan. " Tutur kata lelaki itu tegas namun cukup menenangkan dan seketika bayangan wajah garangnya lenyap, tapi wibawanya keluar.

Yanse Yele Mangi, demikian nama yang kudengar setelah aku memperkenalkan diri. Seorang pemangku adat, orang yang paling dituakan setelah kepala kampung. Ditangannya segala keputusan berada, bahkan kepala kampung kerap meminta pertimbangan sebelum memutuskan suatu perkara.

Setelah memberi pesan, lelaki itu pergi meninggalkan kami menuju bagian lain rumah kubu. Aku dan Simpai pun pulang ke rumah. Anehnya sejak pertemuan dengan tetua adat siang itu, tak ada lagi kejadian aneh saat malam hari di rumahku. Setidaknya aku mulai merasa lega, dan bisa istirahat dengan tenang di malam hari.

***

Pagi itu, Simpai dan Bapaknya mengajakku masuk hutan. Mereka mengajakku mencari kayu yang akan digunakan membangun satu ruangan lagi di sekolah. Kepala adat dan kepala kampung telah setuju menambah ruangan sederhana agar tahun ajaran baru nanti daya tampung sekolah lebih maksimal, tak perlu menebang pohon, cukup mencari pepohonan yang tumbang. 

Masyarakat Dayak memang sangat menjaga hutan, bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan. Tanah laksana ibu dan hutan bagaikan ayah. Makanya mereka sangat menentang illegal logging. Sayangnya, masih banyak yang menuding masyarakat setempat lah penyebab kebakaran hutan dengan ladang berpindah, padahal pembukaan ladang hanya dilakukan pada tanah-tanah yang tak terpakai, yang tidak ditumbuhi pepohonan. Industri modern yang paling bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan. Kami berangkat ke hutan setelah menyiapkan bekal secukupnya.

Jalan menuju hutan hanya setapak, yang semakin ke dalam semakin tak terlihat tapaknya, namun Bapak Simpai punya cara menandai lintasan. Nyanyian hutan seperti orkestra yang padu dan harmoni. Ada lagu belalang pung, cericit burung, juga desiran angin. Semakin masuk ke dalam, pepohonan semakin tinggi dan besar. Beda dengan hutan sekunder atau tersier, hutan di sini seperti bernyawa. Cabang dan rantingnya seperti tangan-tangan yang terjulur. Daun-daunnya seperti mata yang memandang tajam.

Simpai dan Bapaknya mencari dan menandai tempat yang ada pohon yang tumbang, dan menggambarkannya pada selembar kertas agar nanti lebih mudah ditemukan ketika kembali bersama penduduk desa untuk mengambilnya kembali.

Setelah semua beres kami kembali ke perkampungan, tapi sebelum sampai jalan setapak yang pertama kali kami lalui, Bapak Simpai mengalihkan langkah menuju sisi yang lain. Kami menemukan sebuah gubuk. Tiang penyangga yang terbuat dari kayu ulin masih berdiri kokoh, tapi beberapa atapnya sudah lapuk.

Tak jauh dari gubuk itu ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa besar, tak selebat di dalam tadi. Ada banyak bebatuan besar dan beberapa benda yang tidak kuketahui dengan pasti. Rasa penasaran menyergapku. Setelah melakukan ritual penghormatan, Bapak Simpai menjelaskan bahwa mereka akan ziarah ke makam nenek moyangnya.

"Ini kuburan kuno, tempat nenek moyang kami bersemayam, " jelasnya.

Aku begidik, tapi berusaha setenang mungkin. Apa sih yang membuat takut, jasad yang sudah tak mampu berbuat apapun.

"Ayo kita lihat. " Suara Bapak Simpai mengejutkanku. 

Apa? Melihat kuburan kuno. Boleh juga, tapi menegangkan.
Sesampainya di tempat yang dituju, benda yang tak kutahu pasti tadi adalah tempayan - tempayan besar dengan tutupnya yang ditindih batu atau kayu. Ada beberapa tempayan di tempat ini. Bapak Simpai mengajakku melihat salah satunya.

Setelah komat kamit melafalkan mantera entah apa maknanya, perlahan Bapak Simpai menggeser batu yang menindih tempayan. Tutup tempayan lalu digeser perlahan. Seketika terbuka dan kami melongok ke dalam. Nampak tempayan yang sudah kosong tanpa isi. Lalu kami berpindah ke tempayan yang lain. Kali ini kami menjumpai tulang belulang dan tengkorak yang masih utuh.

Ada yang aneh pada raut wajah Bapak Simpai setelah itu, mukanya terlihat tegang sekali, bergegas ia meninggalkan tempat itu, aku dan Simpai pun berlari kencang mengikutinya.


Kraaak… Bum!


(Bersambung)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga, Tak Sekedar Ikatan Nasab

Gerimis kecil pagi itu tak menghalangiku duduk di boncengan motor pak suami. Meski di kota sedang tidak hujan deras, namun hujan di hulu sana, membuat Sungai Karangmumus meluap sehingga menyebabkan banjir sepanjang daerah aliran sungai itu. Titik terparah ada mulai dari depan Mall Lembuswana sampai Pasar Segiri. Setelah menerobos banjir dan mencari celah genangan yang tidak dalam pada gang-gang kecil sampai juga di kantor pak suami. Malam sebelum pak suami mengirim pesan bahwa pagi ini akan pergi dinas ke Balikpapan. Bak pucuk dicita ulam tiba, langsung aku menyatakan ingin ikut. Bagiku, ke Balikpapan adalah pulang kampung yang sebenarnya. Karena ada banyak " keluarga " di sana. Mengapa ada tanda petik pada kata keluarga? Mau tahu cerita selanjutnya? Oke, dilanjut ya. Keluarga seperti bukan keluarga Jadi sejak pandemi melanda negeri ini, ada dua kota yang begitu kurindukan. Pertama: Bojonegoro Di kota ini aku dilahirkan dan ibuku berada seorang diri tanpa anak kandung di sisi

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi