Langsung ke konten utama

Lembah Long Ba : Pemuda Tanggung

Pemuda Tanggung Long Ba



Part. 2 Pemuda Tanggung


Selepas sholat subuh, kembali kurebahkan tubuhku di kasur dan bergelung dengan selimut yang menutup tubuhku rapat-rapat. Udara pagi hampir-hampir menembus semua pori-poriku. Letak lembah di sekitar pegunungan yang masih terjaga kelestariannya karena masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, menjadikan malam hingga pagi terasa dingin sekali. Tak terasa aku pun terlelap lagi beberapa menit hingga remang cahaya matahari masuk ke kamar. Bergegas aku bangun dan turun dari tempat tidur.

Srek… kakiku menginjak sesuatu. Sesaat mataku menangkap beberapa daun kering di lantai kamarku. Kutebarkan pandangan ke sekeliling kamar, woah daun-daun kering berserakan entah dari mana. Padahal semua pintu dan jendela masih tertutup rapat. Bahkan, semalam aku tak merasakan adanya angin kencang. Segera kusapu dedaunan itu dan kubuang begitu saja di halaman. Meski aneh aku tak ingin memikirkannya.

Kesibukan mengajar, sejenak mengalihkan perasaan ganjilku. Sampai malam ketika waktu tidur menjelang. Lampu belum padam yang artinya belum tengah malam. Dari cahaya redup lampu kamar aku masih bisa lihat jelas, lantai kamar yang dipenuhi bulu… , yah bulu tapi panjang. Owhhh ini rambut, iya semacam rambut manusia. Kuurungkan langkahku memasuki kamar. Segera kutekan sebuah nomor di handphoneku. Shit… ! Nggak ada sinyal. Meski kadang jaringan telepon ada, namun lebih sering timbul tenggelam atau hilang begitu saja.

Daripada begidik karena takut, aku memilih melawannya. Segera kuambil sapu dan membersihkan lantai kamarku. Sambil membaca sholawat sebisaku, rambut-rambut itu kukumpulkan jadi satu dan kubuang keluar rumah. Tepat ketika beres urusan satu itu, lampu padam dan aku tidur meski dengan perasaan tidak tenang.

Keesokan harinya, kembali aku dikejutkan dengan ketukan pintu depan. Bergegas kubuka, pikirku Pak Jauri datang menemuiku untuk membicarakan sesuatu. Namun begitu pintu terbuka, kudapati sesosok tubuh perempuan membelakangiku. Tak bisa kutahan lagi, jantungku berdegup kencang sekali. Kutunggu dia membalikkan badannya dengan hati tak karuan. Namun beberapa saat lamanya, sosok itu tak juga membalikan badannya.

"Maaf… . " Kalimatku menggantung ketika tiba-tiba sosok itu menghadap ke arahku setelah mendengar suaraku. Kulihat dia tersenyum, dan berjalan beberapa langkah menuju ke arahku.

"Pak Guru, saya Harati. Itu anak saya Simpei. " jelasnya sambil menunjuk seseorang yang berdiri di luar pagar agak tertutup beberapa tanaman yang meninggi dekat pagar rumahku. Sejenak kuikuti arah yang ditunjuknya sampai ia berkata lagi, “Rumah saya tidak jauh dari sini, itu atap sirap yang terlihat dari sini. "

Di depan agak ke kiri dari tempat kami berdiri memang terlihat atap rumah yang menyembul di antara rerimbunan pohon.

“Mari Bu! Silakan masuk dulu. Kita bicara di dalam,”tawarku pada sesok wanita berkulit putih kemerahan yang kisaran usianya empat puluh tahunan. Tak lupa kulambaikan tangan memanggil anaknya,” Simpai, mari sini…!”

“Ini, Simpai anak saya ini yang akan menemani Pak Guru di rumah ini. Pak tetua kampung yang meminta agar Pak Guru ditemani dan saya setuju biar anak saya ini bisa belajar dengan pak Guru. Sebenarnya ia sudah kelas 3 SMP kalau melanjutkan sekolah, sayangnya sekolah SMP jauh dari sini jadi cukuplah lulus SD saja. “ jelas Bu Harati.

Sejenak aku ragu apakah menerima atau menolak, sejujurnya aku tak ingin percaya begitu saja, namun menolak juga bukan pilihan bagus. Saran seorang teman, berusahalah menyambut bantuan mereka dengan baik agar penduduk setempat punya kepercayaan pada orang baru, kecuali sesuatu yang haram tentunya.

“Baik Bu, biar Simpai tinggal sama saya, dengan senang hati saya menerima. “ Akhirnya aku memutuskan menerima tawaran itu.


****

Harapanku keganjilan di setiap malam segera berakhir, mungkin dengan adanya penduduk asli yang ada di rumah ini mereka yang entah siapa itu tak lagi melakukan ini. Namun, tengah malam ketika kami terlelap dalam tidur, aku kembali terbangun. Suara langkah kaki bolak-balik di luar rumah memecah kesunyian malam. Setelah berulang kali tidak berhenti juga, kuputuskan keluar kamar mencari Simpai. Pemuda 15 tahun itu memang tidur di ruang depan kamarku.

“ Simpai …..,” seruku pelan dalam kegelapan malam.

Sepi

“Simpai…! 

Braaak…..!



(Bersambung)

Komentar

  1. Saya baca tengah malem sambil bergedik ngeri, bunda. Kebayang banget itu beberapa hari udah dikasih pertanda ganggu. Huahhh saya menunggu update selanjutnya yah Bun, seru kali ini bikin deg-degan aja :D

    BalasHapus
  2. Rambut siapa ya kira"??
    Lalu itu suara apa?? 🤔🤔🤔

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa pedesaan di Jawa. Jalan

Lembah Long Ba : Menunggu

Part 6. Menunggu Tinggal sedikit lagi tubuhku lenyap dihisap bayangan hitam itu, seketika aku teringat gambaran Dementors, sebuah roh jahat yang hanya bisa dikalahkan oleh mantra expecto patronum nya Harry Potter dari gurunya Remus Lupin. Lalu cahaya putih menghalangi makhluk itu sehingga tidak bisa menyentuhku. Setelahnya, di dadaku terasa ada yang menyentuh, agak keras namun dingin rasanya. Tiba-tiba aku seperti mendapat suntikan energi, hingga akhirnya bisa membuka mata. Yang pertama tertangkap mata adalah ruangan berdinding putih. Aku berada di sebuah ranjang beralas warna putih juga. Tanganku tak bisa digerakkan, ternyata ada sebuah selang dan jarum menancap di dekat pergelangan tanganku. Belum sempat kuedarkan pandang menyapu seluruh ruangan, Bapak kepala kampung mendekat. "Pak Tegar… . " Disebutnya namaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. "Syukur Alhamdulillah Pak Tegar sudah siuman, " sambung Pak Jauri. Rupanya mereka yang membawaku ketempat ini. Semac

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi