Seketika langkahku terhenti, kutarik tangan Simpai dan memberanikan diri melihat ke belakang. Sebatang pohon tumbang, sesaat ketika kami baru saja melintasinya. Berulang kali kuucap hamdalah, karena pohon itu tidak menimpaku. Tak sempat lagi kupikirkan mengapa pohon itu tiba-tiba tumbang begitu saja, padahal tak ada angin kencang. Setengah berlari segera kami menyusul Bapak Simpai menuju jalan setapak keluar hutan.
***
Sepekan sejak keluar dari hutan aku merasakan keanehan pada tubuhku, tiba - tiba meriang tak karuan. Rasanya semakin tak enak, nafsu makan berkurang hingga tubuhku semakin lemas. Lalu demam tinggi menyerangku, nafasku jadi sesak, dada seperti ditimpa beban berat dan tenggorokan seperti dicekik. Tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan memanggil Simpai pun aku tak sanggup. Suaraku tercekat di tenggorokan.
Tiga hari hanya bisa tergolek lemas di tempat tidur bahkan perutku pun terasa panas, mual dan muntah terus menerus. Ibu Simpai datang memberiku ramuan dan menyarankan untuk banyak minum. Namun belum ada perubahan yang berarti. Pikiranku jadi kacau, detik demi detik kulalui dengan berdoa semampuku, kubaca surah - surah yang masih kuingat. Keyakinanku, apapun yang dikehendaki manusia jika Allah tak berkehendak pasti tak akan terjadi. Satu-satunya yang bisa menolongku hanya Allah.
Tiba-tiba bayangan tinggi besar masuk ke kamar. Wujudnya tak terlihat sempurna seperti sesuatu hanya hitam pekat. Mendekat dan semakin dekat ke arahku. Tubuhku menggigil hebat, keringat dingin mengucur meski suhu tubuh terasa sangat panas. Ini puncak rasa takutku setelah beberapa kali mengalami kejadian aneh. Kututup mata dan aku berusaha pasrah sepenuhnya, sudahlah jika ini ajalku. Kalimat syahadat kuucapkan berulang. Setidaknya jika aku meninggal, lafaz La Ilaha illallah menjadi ucapan terakhirku meski di dalam hati. Tak ada lagi yang bisa kuingat selain itu. Rasa takut mengerus semua ingatanku. Sedikit ada sesal, mengapa harus menemui ajal jauh dari orang tua dan kerabat. Setelahnya aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku terbangun ketika mendengar ramai suara di rumahku. Sebuah suara mengusulkan untuk memanggil tetua adat agar mengadakan upacara adat penyembuhan. Barangkali kena bala dari makan kuno, itu pasti suara Bapak Simpai. Sebelum terjadi perdebatan sengit kudengar suara kepala kampung, beliau langsung masuk ke kamar. Di belakangnya ada Pak. Jauri rekan mengajarku yang datang dari kampung sebelah dan seorang lagi yang baru pertama kulihat.
"Pak Tegar… . " Bapak kepala kampung memanggil namaku. Aku hanya bisa menjawab dengan isyarat mataku.
Seseorang yang asing itu maju mendekatiku. Diletakannya tas yang dibawanya dekat kakiku, lalu sebuah stetoskop diambil dari dalam tas. Setelah memeriksa tubuhku, dia keluar bersama Bapak kepala kampung. Entah apa yang dibicarakannya.
Simpai menyiapkan tas dengan tergesa, beberapa lembar bajuku diambil dari lemari dan dimasukan ke dalam tas. Wajahnya cemasnya begitu terlihat. Dibantu Pak Jauri, ia mengangkat tubuhku dan meletakkannya di jok mobil Bapak kepala kampung. Selebihnya aku tak ingat lagi karena bayangan hitam tinggi besar kembali menyerangku, kali ini dia menarik - narik tubuhku, aku berusaha mempertahankan diri semampuku. Kutendang dia dengan sisa-sisa tenagaku.
Bayangan itu sempat terpental mundur beberapa langkah ke belakang. Namun tak lama, kembali ia maju dan menyerangku hingga aku sesak nafas. Meski terengah-engah, aku tetap bertahan, hingga akhirnya tubuhku lemas tak bertenaga dan melorot bak karung tanpa isi. Dengan leluasa bayangan hitam itu menarik tubuhku… Oh… tidak… jeritku tertahan.
(Bersambung)
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar