Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

Kata Tanya Bermakna Pengasuhan Kami

Dalam keluarga kami, ada sebuah kata tanya yang kerap dilontarkan anak-anak, dan bagi kami bermakna pengasuhan yang dalam. Sebuah kata tanya yang kini jadi kenangan kecuali momen tertentu yang kini sangat langka. Benar adanya, momen pengasuhan itu tak lama, maka ciptakan kenangan yang bermakna. Balik pada sebuah kata tanya itu, "Berapa" yang biasanya digunakan untuk menanyakan jumlah. Benar sekali. Berapa-berapa Bun? Sebuah pertanyaan yang selalu hadir ketika makanan terhidang di keluarga kami. Maksudnya adalah, berapa banyak yang akan menjadi bagian masing - masing anak? Dan ini berlaku untuk makanan yang dapat dihitung, seperti lauk, kue atau buah. Mempunyai anak berbilang dengan jarak yang berdekatan membuat anak-anak tumbuh hampir bersamaan. Terbayang kan bagaimana tujuh orang anak dalam satu rumah. Terbayang kan bagaimana ketika kami berhadapan dengan makanan. Sebanyak apapun harus bisa dibagi rata sesuai kebutuhan anak. Apalagi jika sedikit, lebih rumit lagi jika tidak

Ketika Harus Menerima Lamaran

Selalu ada yang pertama, pertama ketemu calon suami, pertama punya anak, hingga pertama menerima lamaran atau melamar. Dan yang pertama itu kadang bikin deg-degan tak karuan, iya nggak sih? Begitulah, ketika mendapat kabar bahwa calon besan akan datang ke kota kami dari kota yang jauh tentu saja kami deg-degan, bingung harus bagaimana. Ini pertama kalinya kami akan menerima kedatangan calon besan. Terlebih kami termasuk calon mertua yang masih mudah, heuh belum lima puluh tahun. Dan nggak ada tetua yang bisa kami mintai pertolongan karena pandemi ini ada pembatasan gerak. Awalnya info yang kami Terima hanya untuk silaturahmi antar keluarga. Begitulah yang ada di pikiran kami, jadi nggak perlu persiapan acara yang gimana gitu. Dan ketika dikonfirmasi malah mengajak ketemuan di luar rumah. Tepatnya di rumah makan, jadi santai aja nggak perlu masak-masak. Terbayang kan andai ada acara di rumah dengan kondisi rumah kami yang minimalis sebagai warga nomaden juga kemampuan masakku yang level

Kauman, Warga Sekitar Masjid Jami'

Kauman, tentu tak asing dengan kata ini kan. Apalagi di Jawa, konsep pembangunan kota - kota di Jawa ada kemiripan dengan patron konsep kota Yogyakarta. Mungkin karena dulunya merupakan daerah yang berada di dalam kekuasan kerajaan Mataram ini. Coba perhatikan, rata-rata kota di Jawa mempunyai centrum, kantor pemerintahan, pasar, alun-alun dan masjid. Lalu daerah yang berada di sekitar masjid ini dinamakan kauman dan masyarakatnya pun mendapat julukan warga kauman. Karena tinggal di sekitar masjid, maka warga kauman dikenal lebih religius dibanding warga lain di luar kauman. Bisa jadi, karena mereka dikenal sebagai pemakmur masjid dengan rutin sholat berjamaah di masjid atau kegiatan keislaman lainnya. Tidak hanya di kota atau ibukota propinsi dan kabupaten, konsep tata kelola daerah seperti ini juga sampai di kota kecamatan. Jika, disebut daerah kauman pasti akan merujuk pada daerah di sekitar masjid. Dulu aku begitu iri dengan warga kauman ini. Rasanya beda ya, lebih religius dengan

Berubah, Bergerak atau Kalah itu Pilihan

Aku tuh suka terharu dengan anak muda yang sukses memanage hidupnya dengan baik, membuat iri dalam arti positif. Meski semua bukan karena bagaimana mereka dididik, bisa juga karena keadaan yang memaksa untuk itu. Tapi apapun itu, masih muda dengan segala kesuksesannya adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan diambil pelajaran. Terlepas definisi sukses itu seperti apa. Yang jelas secara dunia rasanya sudah cukup kebaikan yang mereka lakukan. Sama-sama terbiasa tidak tergantung dengan orang tua, mandiri sejak usia belia hingga kuliah pun tak lagi atas biaya orang tua. Beasiswa dan bekerja paruh waktu menjadi pilihan hingga bangku kuliah bisa diselesaikan dengan baik dan predikat yang tak kalah dengan anak-anak yang hanya belajar tanpa pernah risau akan biaya hidup dan kuliah. Akhirnya mereka bertemu dalam ikatan pernikahan di ujung study mereka. Selepas yudisium, pernikahan sederhana bahkan super minimalis itu ( dengan biaya kurang dari 2 juta) tak mengurangi tujuan suci pernikahan. Men

Saat Pendidikam Masih Identik dengan Persekolahan

Beberapa hari lalu publik ramai membicarakan sosok artis yang lulus studi di Stanford University. Tak hanya satu gelar master, double gelar lagi. Sesuatu yang sangat membanggakan bagi sebagian besar penduduk negeri ini. Hebat lah, terlebih artis yang biasanya ketika sudah mendapatkan penghasilan besar dengan mudah tidak lagi berminat belajar atau melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Saya tak berminat ikut pro kontra dengan hal ini, meski ada sebagian yang berpendapat wajar dong dengan previllage yang dimilikinya. Orang tua yang mendukung dengan segala fasilitas yang sanggup mereka berikan. Lihat saja rekam jejak sekolah dari TK hingga program masternya bukan sekolah murah. Orang biasa nggak mungkin bisa, terlebih tak ada kocek yang bisa dirogoh dalam-dalam. Lalu ramai orang membandingkan dengan banyak sosok berprestasi di negeri ini yang kesulitan biaya sekolah. Boro-boro bisa mengambil master, lulus ujian masuk Perguruan tinggi idaman saja tak lantas membuat bahagia tap

Hati yang Tertawan

Secangkir kopi dalam gelas putih polos itu masih mengepulkan asap. Pagi dingin selepas hujan deras semalam yang masih menyisakan rintik kecil mengurangi kepulan asap kopi lebih cepat. Tatapan matanya masih terpaku pada kumpulan tanaman anggrek dengan bunga kekuningan yang menikmati guyuran hujan, dari beberapa pot yang ada di rak bunga, hanya tersisa beberapa saja. Entah sudah berapa lama tangannya tak telaten lagi mengurus tanaman itu.  Tiba-tiba senyum manis itu melintas dalam ingatannya. Senyum manis dari seseorang yang dulu begitu dipujanya. Namun di sudut hati terdalam menjadi nyeri tak terkira.  Sebuah sentuhan lembut menyadarkan lamunannya. Tangan - tangan kecil memeluknya erat dari belakang.  "Bunda  … ,"sapaan lembut menghampiri telinganya.  "Wah sudah bangun anak bunda," serunya seraya menarik pelan tubuh mungil itu ke pangkuannya. Kebiasaan si bungsu itu selalu meminta atau memberi pelukan kala bangun dari tidurnya.  Sisa pagi itu dinikmati Ranti berdua d

Tugas Puisi: Hujan dan Cerita Rindu

Hujan dan Cerita Rindu (yang tak pernah usai) Pada rintikmu yang berirama sendu Membawa sejuta kenangan mengalun syahdu Menembus batas melintas beribu waktu Karena rindu itu tak lagi bisa berpadu pada temu Wahai hujan, padamu akan kuteriakan sejuta kata Untuk menitipkan berlembar cerita  Tentang cinta tulus yang pernah ada Dan tak pernah ada yang setara dengan dia Kau tahu, ketika butiran beningmu mulai turun kala dulu Selalu ada usapan tangan lembutnya dibahu Lalu untaian kata-katanya penuh asa terdengar di telingaku Lihat Nak, ada beribu malaikat bersama hujan itu  Dan aku tenang bersama ibu Hujan, sungguh aku merindu dia Kala tubuhnya kian renta dimakan usia Namun pilihan hidup tak berpihak pada masa senjanya Dalam kesendirian jauh dari buah hati tercinta  Sementara pandemi memupus pertemuan segera  Hingga dua tahun lamanya Hujan, kuakhiri cerita ini Tentang rindu yang tak pernah usai  Harapanku kala rintikmu reda nanti Lalu hari semakin gelap tanpa tepi Kuharap rindu ini sedikit te

Aku si Anak Desa dan Buku

Meski tinggal di kampung yang jauh dari pusat kota, aku si anak desa punya kebiasaan membaca sudah dilatih sejak dini oleh Bapak maupun Ibu. Kebiasaan membaca, bukan diajari membaca. Lha gimana caranya melatih kebiasaan membaca tanpa diajari membaca?  Ini… .!  Jadi begini, kebiasaan membaca itu pada balita bisa dilatih dengan melihat. Children see, children do begitu kan istilahnya. Kami terbiasa melihat Ibu dan Bapak membaca. Ibu dengan segala keterbatasannya di jaman dulu sudah rajin membaca buku di rumah tetangga yang punya banyak buku. Begitu pun Bapak.  Masa balita kami, belum ada buku - buku untuk balita selayaknya jaman kini. Tapi kami dikelilingi buku. Buku-buku lama Bapak dan Ibu juga majalah-majalah pendidikan yang menjadi bacaan Bapak dan Ibu yang seorang guru itu.  Terlebih Bapak pandai mendongeng. Setiap malam ada saja dongeng yang dituturkan sebagai pengantar tidur kami. Kadang cerita pewayangan seperti Mahabarata atau Ramayana.  Membaca sendiri bagiku bukan perkara mudah

Jangan Panggil Aku Ibu

Tentu saja, aku mengenal sosok itu. Perempuan lugu itu sebenarnya cantik juga, hanya saja terik matahari membuat kulitnya menjadi legam, kulitnya agak kasar dan wajah polos tanpa sapuan make up itu menjadi tabir wajah cantiknya. Namun, tampilan sederhana itu tak sesederhana kepribadiannya. Sorot matanya melancarkan kasih sayangnya. Dengan telaten ia menjaga dan merawatku. Menyeka tubuh, membuang kotoran juga menyiapkan obat serta makananku. Sungguh kehadirannya sama sekali tak kuharapkan, namun siapa lagi yang bisa merawatku setiap hari di rumah sakit ini, suamiku harus bekerja sementara kedua anak lelakiku sedang kuliah di luar kota. Rasa tak nyaman tertutup oleh kebutuhanku. "Tante mau distelin tivi? " Tanyanya lembut. Sejak dulu ia memanggilku tante, aku yang memintanya. Semua orang mengenalnya sebagai anak dari sepupu jauhku. Dan aku sendiri tak punya ponakan karena anak tunggal. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, suami dan dokter yang menanganiku tiba. Visit dokte

Yang Tak Bisa Kuubah

Setelan sekian lama menyimpan rasa dengan rapi lalu rasa itu terajut menjadi nyata, senang sekali bukan?  Kupandang kertas putih yang baru saja kukeluarkan dari amplop coklat. Jantungku berdebar kencang dan serasa hampir meledak ketika sebaris nama tertangkap mataku. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku. Ya Allah, benarkah ini. Sungguh rasa yang absurd sekali.  Setelah sekian lama, tak ada yang tahu. Hanya dinginnya lantai kamarku yang jadi saksi bisu kala nama itu kusebut dalam doaku. Semua tersimpan rapi, bahkan pada sahabat terdekat ku. Kamal Abdurrahman, sebuah nama yang kukenal ketiga aku bergabung dalam organisasi dakwah kampus. Dialah sang ketua. Entah sejak kapan aku menyimpan simpatiku, tak kusadari hampir setahun berinteraksi meski terbatas urusan kegiatan kampus rasa suka itu mulai bersemi. Hingga kini ketika aku hampir meletakkan jabatanku sebagai sekretaris.  Ya, kesibukan mengerjakan tugas akhir dan masa bakti dua tahun berturut-turut sudah cukup bagiku untuk undur di

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Cerpen : Dia, Ayah Anakku

Dia, Ayah Anakku "Jadi apa keputusan Bunda? " Akhirnya sulungku itu bertanya setelah sekian menit kami tenggelam dalam pikiran masing - masing. "Bunda, akan ikut apa keputusan anak-anak, " jawabku. "Ini kehidupan Bunda, dan yang akan menjalani juga Bunda, kami akan berada aqdi belakang Bunda apapun keputusan yang Bunda ambil. " "Bunda... . " Kalimatku menggantung. "Aku nanti bantu Bunda menjelaskan ke adik-adik apapun keputusan yang Bunda ambil. " *** Sakitnya tak terperi, saat sosok di depanku itu memilih pada akhirnya. Bukan aku tapi dia. Ah seandainya dia tetap berada disisiku pun, rasa sakit itu terlanjur bersemayam di hati. Bagaimana mungkin aku melupakan semua yang sudah dia lakukan selama ini. Meski kata maaf bisa saja terucap namun melupakan adalah kemustahilan. Sekuat apapun aku menggenggamnya, dia bukan milikku. Baiklah, kini saatnya melepasnya. Toh ini yang dikehendakinya. Memikirkan bagaimana anak-anak kedepan, tentu berat

Tragedi Atap Rumah, Kematian Bayi-Bayi

Tubuhnya kian tambun, terutama di bagian perut bukan karena banyak makan tapi janin yang dikandungnya kian membesar. Gerakannya juga menjadi semakin lambat, tak selincah dulu. Padahal ia harus tetap mencari makan sendiri.  Tak ada yang bisa diharapkan pada kondisi seperti ini.  Kadang atas kemurahan para tetangga yang tak tega melihatnya, ia mendapat sedikit makanan. Cukup untuk mengganjal perut dan meredakan gerakan janin yang dikandungnya. Entahlah, ia pun tak tahu ada berapa banyak bayi dalam perutnya. Yang jelas kian hari kian membesar saja. Dan disaat mendekati hari kelahiran, didapatinya sebuah emperan rumah. Untuk sementara cukup menjadi tempat berlindung, meski lebih sering pemilik rumah mengusirnya karena tak berkenan. Mau bagaimana lagi? Ia tak tahu harus kemana mencari tempat yang aman bagi janin-janin yang akan dilahirkannya nanti. Seringkali ia menyelinap masuk ke dalam rumah mengharap ada sedikit makanan yang bisa diambilnya, tapi lebih sering ketahuan sehingga ia tak me