Langsung ke konten utama

Ke Baitullah

Part. 11 (bagian terakhir)
Pesonamu

Senja yang indah menyapa ketika kami sampai dipertengahan jalan antara Madinah-Makkah. Mentari perlahan tengelam diantara perbukitan di depan kami. Rombongan memutuskan rehat sejenak di halaman parkir restoran siap saji Al Baik untuk  makan siang yang tertunda. Agar tidak terlalu lama, kami memutuskan take away sekotak makanan siap saji Al Baik dengan menu ikan fillet goreng tepung. Sebenarnya aku lebih suka ayam, tetapi pembimbing dan official travel umroh kami adalah para Abi (kakak pembina) asrama tahfiz dan para hafizh Qur'an yang memilih wara' dalam menjaga makanannya.

Ketika malam tiba, akupun terkantuk-kantuk sepanjang sisa perjalanan hingga bis kami memasuki kota Makkah. Bacaan talbiyah kembali ku lantunkan. Detak jantung semakin terasa kencang. Dalam gelap kulihat luar jendela, oh dimanakan masjidil haram itu?
Betapa polosnya, kukira kami langsung ke masjidil haram dan melihat ka'bah.

Makkah!
Tak sabar ingin melihat Ka'bah, yang sebelumnya hanya bisa dilihat digambar. Kemudian bibir terus melantunkan kalimah talbiyah.

Saat bis berhenti, semakin dag-dig-dug jantung ini. Tapi masih juga belum nampak masjidnya, apa karena malam dan gelap. Waktu menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat.
Wah, ternyata macet saat memasuki parkiran hotel.

Kami turun dari bis, dan briefing pembagian kamar serta pelaksanaan umroh perdana setelah beberes dan rehat sejenak nanti. Lalu kami segera meletakkan barang bawaan, makan malam, dan bersiap melakukan umroh.
Pk. 22.00 kami sudah siap di lobby dan segera menuju masjidil Haram.

Lantai yang dingin terasa begitu kaki menapak dilantai masjid melalui "door to ikhram".
Setelah menjamak sholat maghrib dengan isya, rombongan yang hanya 15 orang bergerak melakukan umroh.

Siapkan do'a terbaik, kita akan melihat Ka'bah untuk pertama kali, do'anya ma'bul..bisik pak suami. Jangan melihat Ka'bah tanpa berdo'a. Usahakan berdoa pada pandangan pertama itu.

Rasa hati semakin campur aduk, cemas antara harap dan takut. Teringat cerita pak Suami, tentang seseorang yang tak mampu melihat Ka'bah meski sudah didepan mata.
Ya Allah, semoga Kau perlihatkan Ka'bah padaku, sejenak aku meminta kepadaNYA.

Tundukkan pandangan , agar terhidar dari pandangan yang tak sengaja.
Maka aku berjalan sambil tertunduk, yang semakin lama semakin berdebar tak karuan.
Waktu ta'aruf dulu tak seberdebar ini,
bahkan waktu akad nikah pun tak sedeg-degan ini, lintasan pikiranku.

Dadaku berdegub semakin kencang ketika muthowif mengatakan, kita sudah sampai dan melihat Ka'bah. MasyaAllah, beneran ada di depan mata.
Do'a dan air mata tak tertahan lagi.
Alhamdulillah.
Nikmat tiada tara.

Ibadah umroh pertama ini selesai hingga dinihari.
Rasanya masih ingin berlama-lama di masjid hingga pagi.
Namun ibuku harus istirahat dan kami kembali ke hotel menjelang pk 02.00 waktu setempat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga, Tak Sekedar Ikatan Nasab

Gerimis kecil pagi itu tak menghalangiku duduk di boncengan motor pak suami. Meski di kota sedang tidak hujan deras, namun hujan di hulu sana, membuat Sungai Karangmumus meluap sehingga menyebabkan banjir sepanjang daerah aliran sungai itu. Titik terparah ada mulai dari depan Mall Lembuswana sampai Pasar Segiri. Setelah menerobos banjir dan mencari celah genangan yang tidak dalam pada gang-gang kecil sampai juga di kantor pak suami. Malam sebelum pak suami mengirim pesan bahwa pagi ini akan pergi dinas ke Balikpapan. Bak pucuk dicita ulam tiba, langsung aku menyatakan ingin ikut. Bagiku, ke Balikpapan adalah pulang kampung yang sebenarnya. Karena ada banyak " keluarga " di sana. Mengapa ada tanda petik pada kata keluarga? Mau tahu cerita selanjutnya? Oke, dilanjut ya. Keluarga seperti bukan keluarga Jadi sejak pandemi melanda negeri ini, ada dua kota yang begitu kurindukan. Pertama: Bojonegoro Di kota ini aku dilahirkan dan ibuku berada seorang diri tanpa anak kandung di sisi

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi