Langsung ke konten utama

Pengalaman Tak Terlupa

Tiga Hari Bertamu ke Negeri Tetangga

Kami sampai di pelabuhan Tunon Taka, salah satu pelabuhan di pulau Nunukan ini, sesuai waktu yang sudah disepakati. Pedagang asongan silih berganti menawarkan dagangannya begitu melihat rombongan kami datang. Begitu juga orang - orang yang menawarkan penukaran ringgit.

Kami langsung menukarkan rupiah ke ringgit dengan salah satu dari mereka. Biar nggak ribet nanti ketika sampai. Kurs yang ditetapkan Rp. 3.450 rupiah per 1 ringgit. Begitulah rupiah dengan mata uang lain, jomplang banget, rasanya…ku menangis, pakai lagu ya membacanya.


Setelah urusan imigrasi yang tak begitu ribet, lancar jaya lah pokoknya. Kami tetap harus menggunakan paspor karena bukan penduduk asli. Beda dengan penduduk ber KTP Nunukan yang boleh menggunakan PBL (Pas lintas batas) saja, sebuah dokumen mirip paspor yang warnanya merah.


Setelah beberapa saat menunggu rombongan dari Tarakan akhirnya kami masuk kapal speed yang akan membawa kami hingga ke pelabuhan di Bandar Tawau. Yap hari ini kami nyempil di antara rombongan Kementerian Keuangan Mengajar atau Kemenkeu mengajar batch 4.

Horee, kami akan ke luar negeri dan ini pengalaman pertama buat anak-anak.

Speedboat Nunukan - Tawau dari Pelabuhan Tunon Taka

Perjalanan Nunukan - Tawau hanya memakan waktu satu jam saja. Tak terasa sampailah kami di pelabuhan Tawau. Proses Imigrasi disini lumayan ketat, tapi kami mendapat jalur tersendiri. Privilege ini kami dapatkan karena sebelumnya pimpinan rombongan sudah melakukan survei dan menghubungi pihak yang berwenang di sini.


Keriuhan segera terlihat saat kami keluar dari pelabuhan, maklum tepat di depan pelabuhan adalah pasar Tanjung.

Berawal dari sini, yuk kita mulai keseruan selama tiga hari di negara bagian Sabah, Malaysia Timur ini.

Buat anak homeschooling yang tidak suka pelajaran PPKN ini, belajar yang sesungguhnya akan dimulai.

Yuk mari…!


Sthamin Cafe dan Masjid Besar Allah Kauthar

Matahari pas di ubun - ubun ketika kami sampai pelabuhan Bandar Tawau. Artinya sudah mendekati jam makan siang, huh perut sudah ngasih kode. Kendaraan kami melaju ke tempat terdekat, Sabindo Square di sekitaran jalan Pesisiran Bandar Tawau. Pas sebelahnya ada masjid, tapi kami makan siang dulu dong, biar kalau sholat nanti nggak keroncongan.


Kami makan siang dengan lahap di Sthamin cafe, perpaduan lapar dengan aneka hidangan yang mengoda, ada bandeng asap tanpa duri, cumi masak hitam, cah kangkung, dan menu- menu lezat lainnya. Terlebih makanan itu dihidangkan sedemikian rupa dan kami bisa memilih dan mengambil sendiri.

Makan siang di Thamin cafe

Usai makan siang, tinggal jalan kaki dikit saja sampai lah kami di masjid Besar Al Kauthar Tawau. Di masjid dengan arsitektur yang khas, besar dan adem itu kami menjawab sholat dhuhur dengan ashar sekalian.

Masjid Besar Tawau : Al Kauthar 

Kantor Konsulat RI

Setelah kenyang dan selesai sholat, agenda utama kami adalah silaturahmi ke Konsulat republik Indonesia yang terletak di jalan Sin Onn 91000 Tawau. Saat itu kantor baru sedang dalam tahap pembangunan. Mungkin sekarang kantor Konsulat sudah pindah ke kantor baru yang berbeda tempat.

Acara Apsi di teras depan KJRI

Ketika kami tiba, di halaman kantor konsulat sedang ada acara Apsi yaitu apresiasi prestasi dan seni para siswa CLC (community learning center) sebuah wadah yang menyelenggarakan pendidikan buat anak-anak TKI di negeri Sabah ini.

Audiensi dengan Bapak Sulistiya Djati Ismoyo - Konsul Jendaral RI untuk Negara Bagian Sabah

Setelah beraudiensi dengan Bapak Konsul serta Atase pendidikan, sore itu kami langsung survei tempat Kemenkeu mengajar di ladang sawit Sungai Balung.


Wisata Kuliner

Malam hari di Bandar Tawau ini layaknya kota besar di Indonesia juga. Aneka wisata kuliner tersaji dengan sangat menarik, tenda - tenda dan meja-meja makan semarak dengan cahaya lampu berpadu cahaya bulan dan bintang.

Ada Sri Tintingan Seafood dan Steamboat yang punya menu andalan sup ketam, asap peda juga steamboat.

Di depan tempat menginap ada kopitiam cafe dengan mi goreng spesialnya yang pas banget di lidah kami.

Kuliner malam hari, Kopitiam Tawau

Arkeolog Bukit Tengkorak

Berhubung masih hari minggu dan acara Kemenkeu mengajar akan dilaksanakan hari senin, makan hari minggu ini kami gunakan untuk jalan-jalan. Kami mengunjungi arkeolog bukit Tengkorak yang terletak di Semporna sebuah daerah yang ditempuh dengan perjalanan selama hampir dua jam. Tapi jalan lebar dan mulus itu membuat perjalanan  kami sangat nyaman. Di bukit tengkorak ini ada museum yang menyimpan benda-benda arkeolog. Mayoritas gerabah, karena daerah ini pada zaman dulu merupakan pusat pembuatan gerabah terbesar di Asia Tenggara.

Arkeolog Bukit Tengkorak

Setelah puas melihat benda-benda bersejarah di museum, kami tertantang naik ke bukit tengkorak.

Ada banyak anak tangga yang harus kami lalui. Wow, nafas rasanya hampir habis, tapi anak-anak masih semangat naik hingga puncak. Namun rasa capek itu terbayar dengan pemandangan yang indah di segala penjuru. Ada kota Semporna dengan gedung - gedung tingginya, ada perbukitan dan hamparan rumput bak sabana, ada pulau Bum Bum yang nampak jelas. Ada pulau Sipadan dan Ligitan yang seperti titik kecil di kejauhan. Setelah puas baru kami turun.

Dari atas Bukit Tengkorak, tampaknya Bandar Semporna dengan latar pulau Bum Bum

Tampi-Tampi Resort

Kelamaan di Bukit Tengkorak menyebabkan rencana kami ke Semporna dibatalkan. Padahal itu tujuan utama. Pupus sudah harapan menikmati wisata air Semporna yang terkenal itu. Jika ke Semporna tak menyebrang ke pulau - pulau nan eksotis dengan perairan bersih biru layaknya kembaran Derawan di Indonesia itu rugi. Butuh waktu minimal dua hari agar puas menikmati wisata Semporna. Akhirnya kami ke resort Tampi-Tampi saja, ada tempat wisata Bintara dan tempat makan yang asyik di atas air. Lumayan mengobati rasa kecewa kami lah.

Laut di resort ini berwarna hijau dan biru. Mirip lah dengan Derawan.

Tampi-Tampi Resort dengan pemandangan laut yang membiru serta Pulau Bum Bum

Anak-Anak Indonesia di CLC Sungai Balung

Dulu hanya mendengar bahwa ribuan anak TKI tidak mendapatkan pendidikan yang layak di negeri seberang ini lewat diskusi di milis pendidikan. Kini dengan mata dan hati menyaksikan sendiri. Sungguh keharuan itu tak mampu kusembunyikan.


Bangunan sebesar rumah tinggal dibagi menjadi tiga bagian, kantor, kelas untuk pendidikan setingkat TK, kelas untuk pendidikan setingkat SD. Untuk TK , kelas A dan B hanya dibatasi meja. Sementara untuk SD dari kelas 1, 2, 3 jadi satu masuk sekolah mulai pk. 07. 00 sampai dengan 12.00 , sementara kelas 4,5,6 di jam setelahnya sampai sore. Pengajarnya hanya satu guru dari Indonesia yang melalui kontrak dengan Kemendiknas dan dua guru relawan untuk SD serta dua guru relawan untuk TK.

Merah putih di ladang sawit Sungai Balung

Menyaksikan mereka mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lambang negara yang mereka sekalipun belum pernah menginjakkan kaki kesana, membuat air mata ini menetes.

"Kami cinta Indonesia, kami ingin kembali ke Indonesia"

Seru mereka penuh semangat.


Hari itu sungguh penuh haru. Beberapa anak bahkan malahan kami tidak mau berpisah saat kami berpamitan.

Sungguh ini pengalaman yang tak akan terlupakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga, Tak Sekedar Ikatan Nasab

Gerimis kecil pagi itu tak menghalangiku duduk di boncengan motor pak suami. Meski di kota sedang tidak hujan deras, namun hujan di hulu sana, membuat Sungai Karangmumus meluap sehingga menyebabkan banjir sepanjang daerah aliran sungai itu. Titik terparah ada mulai dari depan Mall Lembuswana sampai Pasar Segiri. Setelah menerobos banjir dan mencari celah genangan yang tidak dalam pada gang-gang kecil sampai juga di kantor pak suami. Malam sebelum pak suami mengirim pesan bahwa pagi ini akan pergi dinas ke Balikpapan. Bak pucuk dicita ulam tiba, langsung aku menyatakan ingin ikut. Bagiku, ke Balikpapan adalah pulang kampung yang sebenarnya. Karena ada banyak " keluarga " di sana. Mengapa ada tanda petik pada kata keluarga? Mau tahu cerita selanjutnya? Oke, dilanjut ya. Keluarga seperti bukan keluarga Jadi sejak pandemi melanda negeri ini, ada dua kota yang begitu kurindukan. Pertama: Bojonegoro Di kota ini aku dilahirkan dan ibuku berada seorang diri tanpa anak kandung di sisi

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi