Langsung ke konten utama

Kegiatan seru bersama anak

Pantai dan Sampah

Pinggir laut Nunukan, nampak pulau Sebatik di seberang


Dimanapun kami berada, berusaha menerima apa yang ada disekitar dan segera beradaptasi agar kami lebih mudah menerima perubahan termasuk saat Abi harus mutasi ke kota kecil nan jauh di ujung utara pulau Kalimantan ini.


Baiknya di pulau kecil yang dikelilingi laut ini cukup nyaman meski sarana dan prasarana masih terbatas. Tempat hiburan atau rekreasi misalnya. Bahkan taman bermain pun nyaris tak ada. Sehari-hari ya berkutat di rumah.

Jika covid19 mengharuskan kita stay at home sejak awal Maret, maka kami sudah biasa stay di rumah setiap hari.


Tak ada Mall, bioskop, toko buku dan arena permainan tak membuat kami bosan. #kadang sih.

Sebelum covid, masih lumayan bisa jalan-jalan ke luar pulau. Saat ini kami harus bersabar, menikmati tertahan di sebuah pulau kecil ini.

Makanya, biar tidak terlalu bosan, harus ada kegiatan yang menarik dong ya.


Ahad kemarin, adalah hari pertama kami keluar rumah. Wow… Alhamdulillah sejak Juli ini kota kami sudah lumayan kondusif. Sudah tak terdengar adanya penambahan pasien positif corona. Meski di bulan Maret - April, pasien positif disini nyaris di angka 60 an. Tapi tetep dong ya, protokol kesehatan dijalankan. Diluar juga cari tempat yang sepi.


Kali ini kami pergi ke pantai. Jangan bayangkan pantai nanti biru dengan ombak menderu. Sungguh jauh.

Pantai disini hanyalah pinggiran laut yang tak berpasir, apalagi dengan nyiur melambai.

Dari pada tak ada, itu kata anak saya.

Seru itu diciptakan buka ditunggu.


Baiklah.

Berbekal makanan dari rumah, duduk di pinggir laut menikmati deretan pepohonan di pulau sebelah, pulau Sebatik. Juga speedboat kecil yang melaju membelah laut dengan suara menderu khas daerah perairan sudah membuat bahagia.


Di sela-sela rehat, kami memandang sekeliling. Wah alangkah tak sedapnya pemandangan. Banyak sampah plastik di mana-mana yang terbawa ombak. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya memang masih rendah ya.

Lalu terjadi dialog dengan anak-anak.


"Aduh gimana ini? Kan laut nggak boleh kotor dengan sampah plastik ya harusnya? " bunda membuka pembicaraan.


"Iya Bun bener, nanti terjadi pencemaran laut kan." jawab yang paling besar ( Anak no 5 ini menjadi yang paling besar di rumah karena kakak-kakak di atasnya sudah ke pesantren di Jawa)


"Di buku Bunda ada lho gambar ikan paus yang mati lalu tubuhnya penuh sampah." sahut si bungsu.


"Jadi gimana dong ini? " bunda lanjut bertanya.

"Kita kumpulin aja Bun, lalu dibuang ditempat sampah. "

"Waah… .. Usul yang bagus. Keren Dek. Ayo kita lakukan. "seru Bunda berbinar. Anak-anak sudah bisa peduli dan menemukan solusi.


Maka kami mulai memungut sampah yang ada disekitar kami. Dikumpulkan dan dibuang pada tempat sampah.


" Sepulang dari sini harus cuci tangan yang bersih pakai sabun ya. " Bunda mengingatkan.


" Seru ya Bun, hari ini kita keluar rumah dan ada yang dikerjakan. "

"Iya, semoga masyarakat sadar bahwa laut bukan tempat pembuangan sampah ya. "


Hari ini kami bahagia. Ternyata seru-seruan itu tak harus dengan yang luar biasa. Hal kecil ini pun sudah membuat kami bahagia.


#serualakami
#tantanganKlip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa pedesaan di Jawa. Jalan

Lembah Long Ba : Menunggu

Part 6. Menunggu Tinggal sedikit lagi tubuhku lenyap dihisap bayangan hitam itu, seketika aku teringat gambaran Dementors, sebuah roh jahat yang hanya bisa dikalahkan oleh mantra expecto patronum nya Harry Potter dari gurunya Remus Lupin. Lalu cahaya putih menghalangi makhluk itu sehingga tidak bisa menyentuhku. Setelahnya, di dadaku terasa ada yang menyentuh, agak keras namun dingin rasanya. Tiba-tiba aku seperti mendapat suntikan energi, hingga akhirnya bisa membuka mata. Yang pertama tertangkap mata adalah ruangan berdinding putih. Aku berada di sebuah ranjang beralas warna putih juga. Tanganku tak bisa digerakkan, ternyata ada sebuah selang dan jarum menancap di dekat pergelangan tanganku. Belum sempat kuedarkan pandang menyapu seluruh ruangan, Bapak kepala kampung mendekat. "Pak Tegar… . " Disebutnya namaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. "Syukur Alhamdulillah Pak Tegar sudah siuman, " sambung Pak Jauri. Rupanya mereka yang membawaku ketempat ini. Semac

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi