Langsung ke konten utama

Lebaran

Kue Bangket Kenangan

Sepuluh hari terakhir, aroma lebaran mulai terasa. Mulai dari gambar aneka kue kering yang bertebaran di linimasa juga bau kue yang sedang dipanggang tetangga. 

Meski kondisi lebaran yang sebentar lagi akan tiba, tak seperti biasanya, tak menyurutkan tradisi menyediakan kue kering dan aneka makanan lainnya. 
Setidaknya, sekalipun tidak ada lagi acara kunjung mengunjungi, meja tamu tetap tersaji toples - toples cantik berisi kue yang mengoda sehingga suasana lebaran tetap terasa. 

Membeli kue kering yang sudah jadi adalah pilihan praktis. Tidak perlu ribet di dapur pada 10 hari terakhir dan lebih konsentrasi mengisi hari-hari terakhir puasa dengan ibadah maksimal. Apalagi ada kerabat yang produsen kue -kue kering, dan kerap kali mendapat kiriman bertoples-toples kue kering. 

Namun, sejak anak-anak perempuan mulai gede, membuat kue lebaran menjadi keharusan atas desakan anak-anak yang bangga dengan karyanya juga sebuah kenangan. 
Iya, kenangan yang kelak akan menjadi moment yang tak terlupa ketika mereka dewasa. 

Seperti kenanganku pada kue bangket jahe yang tiada duanya. Aroma jahe berpadu dengan sedapnya racikan telur, terigu dan mentega yang menguar dari dapur disaat siang yang terik kala ramadhan di masa kecilku dulu. 

Kue bangket adalah kue kering andalan ibuku. Kami memasaknya secara tradisional. Kala itu belum ada listrik dan oven. 
Di kala ramadhan mendekati akhir, kami mulai menyiapkan hidangan lebaran. Salah satunya kue bangket jahe. 
Dengan whisker (pengocok telur manual) satu per satu telur dikocok bersama gula hingga mengembang. Dan ini memakan waktu lama sampai tangan berasa pegel. Namun bayangan kue bangket mengalahkan rasa pegel itu.
Lalu adonan telur tadi ditambah tepung terigu dan margarin. Tak lupa perasan jahe yang sudah diparut. 

Setelah rata, baru dicetak dengan cetakan atau di giling memanjang kemudian diiris dengan pisau dan dibentuk seperti huruf K. Masuk loyang dan dipanggang pada oven. 

Bukan oven tangkring apalagi oven listrik. Oven terbuat dari ngaron :  sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat, semacam bejana lalu diisi kerikil agar panasnya sedikit terhambat sehingga kue yang dipanggang tidak mudah gosong. Lalu diatas bejana ditutup seng aluminium dan diberi arang yang sudah jadi bara. 
Tak seberapa lama, kue - kue akan mengeluarkan aroma yang aduhai sedapnya. 

Saat oven tangkring sudah hadir dirumah, saat aku sudah mulai kuliah. Dan mulai saat itu, aku sudah biasa membuat kue kering sendiri. 
Namun kue kering bangket jahe sudah mulai ditinggalkan karena prosesnya agak rumit. Berganti kue kering semacam nastar, semprit dan kue kacang yang lebih mudah. Tinggal mencampur margarin, gula halus, telur dan tepung terigu. 
Tak heran, ibuku selalu bilang, kue sekarang ini banyak tepungnya. Beda dengan kue bangket yang adonannya lebih banyak telurnya sehingga rasanya gurih bener. 

Sudah berpuluh tahun kue bangket jahe tak lagi bisa dinikmati. Ada rasa kangen namun apa daya, sudah lupa cara membuatnya. 
Dan kue itu kini benar-benar tinggal kenangan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa pedesaan di Jawa. Jalan

Lembah Long Ba : Menunggu

Part 6. Menunggu Tinggal sedikit lagi tubuhku lenyap dihisap bayangan hitam itu, seketika aku teringat gambaran Dementors, sebuah roh jahat yang hanya bisa dikalahkan oleh mantra expecto patronum nya Harry Potter dari gurunya Remus Lupin. Lalu cahaya putih menghalangi makhluk itu sehingga tidak bisa menyentuhku. Setelahnya, di dadaku terasa ada yang menyentuh, agak keras namun dingin rasanya. Tiba-tiba aku seperti mendapat suntikan energi, hingga akhirnya bisa membuka mata. Yang pertama tertangkap mata adalah ruangan berdinding putih. Aku berada di sebuah ranjang beralas warna putih juga. Tanganku tak bisa digerakkan, ternyata ada sebuah selang dan jarum menancap di dekat pergelangan tanganku. Belum sempat kuedarkan pandang menyapu seluruh ruangan, Bapak kepala kampung mendekat. "Pak Tegar… . " Disebutnya namaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. "Syukur Alhamdulillah Pak Tegar sudah siuman, " sambung Pak Jauri. Rupanya mereka yang membawaku ketempat ini. Semac

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi