Langsung ke konten utama

Strawberry Generation dan Mental Illness


Tadi nggak sengaja lihat reel, awalnya karena logat dan cara ngomongnya mirip teman akrab yang lama nggak ketemu, jadi kayak obat kangen gitu deh. Setelah diperhatikan, beneran persis dan mereka berasal dari kota yang sama.

Lama-lama menarik juga sih pembahasan di reel oleh seorang ibu itu. Tentang anak muda yang memutuskan cuti kuliah.

Kurang lebih seperti ini terjemahanya dalam bahasa Indonesia.

"Hai Bu, dengar nggak sih anaknya si Ibu itu, namanya D anak perempuan pertamanya itu. Sekarang sedang cuti kuliah, lagi healing. Katanya lagi pusing, yah kalo pusing itu kerokan atau makan yang anget-anget, soto atau bakso yang pedes gitu, ntar kan enakan.

Duh anak sekarang bentar-bentar healing, belum apa-apa healing demi mental healthy. Ini kalau orangtua ngomong gini, nanti pada protes. Nggak ngertiin kesehatan mental.

Ya kalau kalau merasa mental illness itu datang ke ahlinya. Pantas saja, Prof. Rhenald Kasali menyebutnya strawberry generation.

Zaman kita maka, skripsi saja sudah sampai kesimpulan suruh balik lagi ganti judul. Sudah sampai bab tiga balik ke bab satu. Boro-boro healing, bisa-bisa diparut mulut kita sama orangtua."

Rupanya reel ini tanggapan dari viralnya unggahan seorang mahasiswa yang mengeluh beratnya kuliah dengan berbagai tugas dan ujian.

Strawberry Generation, Seperti Apakah Mereka? 


Kok saya jadi tertarik dengan istilah strawberry generation. Prof Rhenald mendefinisikan istilah ini dalam materi kuliah onlinenya sebagai generasi yang sebenarnya kreatif dengan ide-ide yang out the box namun tidak berani menghadapi tantangan. Rapuh dan lembek seperti strawberry.

Istilah ini sebenarnya sudah lama juga, Taiwan yang pertama kali menggunakan istilah ini untuk menandai generasi yang lahir di kurun 1981 sampai dengan sekarang yang mudah rapuh dan lemah dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Mengapa ada generasi strawberry?


Keberadaan generasi ini sebenarnya tak bisa dipungkiri adanya pengaruh dari generasi sebelumnya. Kehidupan orangtua yang semakin membaik dan sejahtera dibandingkan orangtua sebelumnya mempengaruhi pola asuh anak-anak yang terlahir kemudian.

Sudah jamak, istilah biarlah orangtua yang bersusah payah asal anak-anak jangan. Iya kan. Saya pun pernah mendengar ini dari Ibu. Biasanya orangtua yang terlahir dengan masa kecil yang penuh perjuangan, berharap hanya mereka yang merasakan, anak-anak jangan sampai merasakan hal yang sama.

Beruntung sih, idiom itu nggak sampai mempengaruhi pengasuhan yang kami terima meski berbagai kemudahan kami rasakan dibandingkan orangtua kami dulu. Disiplin dan uji ketangguhan dari Bapak membuat saya dan adik-adik tetap tangguh meski dengan segala kemudahan.

Faktor-faktor yang memunculkan generasi strawberry

Self diagnosis

Semakin terbuka informasi membuat anak- anak semakin mudah mengakses berbagai media. Dengan demikian input yang mereka terima juga semakin banyak, termasuk mental healthy. Rasa tak nyaman, mereka simpulkan sebagai mental healthy yang harus diatasi dengan healing. Padahal healing itu beda banget dengan jalan-jalan. Healing itu dilakukan oleh ahlinya dan harus bertahap sesuai dengan keparahan kasusnya.

Berbagai alasan atas nama self love. Nah, ini juga bisa jadi alasan paling kuat, anak-anak dengan mengatasnamakan self love, berusaha mendapatkan kemudahan dan enggan menerima tantangan. Beraktivitas hanya sesuai passion. Ngambek dan galau pun dengan dalih self love. Padahal mental rapuh tadi. Tidak mau menerima ketentuan atau takdir dijadikan alasan untuk pembenaran perbuatan yang lain. Bahkan orang yang sudah meninggal masih juga dikaitkan dengan jalan hidup yang mereka pilih atau kegagalan yang mereka terima. Kasihan banget. 

Orangtua Helicopters

Orang tua yang dengan pola asuh helicopters bisa saja menjadi ladang subur tumbuhnya generasi strawberry ini. Ya itu tadi, dalih kesulitan di masa lalu jangan sampai dialami anak-anaknya menjadikan orangtua helikopter ini selalu memberikan sejumlah privilege, perlindungan berlebihan, serba permisif dengan keinginan anak, dan tak mengenalkan tantangan kehidupan.

Sekilas sepele sih ya, tapi melihat rapuh strawberry generation ini pantas saja jika fenomena pengen serba cepat dan instan menjangkiti anak muda sekarang. Dalam dunia bisnis pun, investasi bodong, judi dan money laundering jadi sasaran para muda ini. Nggak heran kan dengan fenomena sultan yang pamer harta sana-sini yang ujungnya mengiring mereka ke penjara karena ternyata bisnis mereka ilegal.

Belum lagi, rapuhnya generasi muda ini membuat mereka gampang galau, frustasi hanya karena masalah kecil yang ujungnya berakhir dengan nggak ingin hidup lagi. 

Dek… hidup itu berat karena itulah sifat dunia!

Masih dengan pengasuhan yang tak membentuk mental tangguh? Yakin akan ada di sisi anak-anak dan mendampingi sampai mereka tua?

Penutup

Kesadaran kesehatan mental akhir-akhir ini memang cukup bagus dan mengembirakan, namun ketika kesadaran ini menjadi dalih dan pembenaran ketidakmampuan menghadapi tantangan kehidupan, patut disayangkan juga. 

Tak jarang ketika ada pendapat yang mengingatkan, please dong jangan rapuh dan merasa ada mental illness dianggap sebagai ketidakpedulian dan miskin empati. Bukan seperti itu, kalau benar ada mental illness sebaiknya segera menemui yang ahli di bidang itu, bukan sekedar berkeluh kesah atau jalan-jalan doang. Healing sesuai prosedur  kesehatan mental. 

Strawberry memang terlihat cantik dan menawan, namun rapuh. Jadilah generasi tanggung, tetap menawan dan tahan menghadapi tantangan kehidupan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Pendek Tilik : Antara Tradisi dan Literasi Digital

Sumber : IG ravacanafilm Beberapa hari ini mulai trending film pendek " Tilik ". Film yang sebernarnya sudah di produksi pada tahun 2018 ini sudah ditonton 1,8 juta kali, disukai oleh 144 ribu dan subscriber chanel ini langsung melonjak pernah hari ini menjadi 6,4 ribu. Film pendek garapan Ravacana bekerja sama dengan dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah beberapa kali ikut festival diantaranya : Winner piala maya tahun 2018 sebagai film pendek terpilih Official selection Jogja -Netpac Asian festival 2018 Official selection word cinema Amsterdam 2019 Film ini mengunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dengan dilengkapi teks berbahasa Indonesia.  Dan salah satu daya tariknya adalah dialog -dialog berbahasa Jawa yang sangat akrab bagi masyarakat Jawa. Terlebih bagi orang Jawa yang merantau, tentu dialog dalam film ini sedikit mengobati kangen kampung halaman.  Setting tempat dan suasana yang kental dengan nuansa...

Bukan Anak Pantai

Dulu saat pertama kali main keluar rumah Melalui dua jalan besar Dan kedapatan main di tepi laut dekat rumah Enaknya panik, hingga keluar nasehat panjang Lalu emak sadar, apalagi jaman kecil si emak juga suka ngelayap di alam terbuka dari sawah, sungai  hingga hutan Udah Dek...bebas deh main dialam asal izin dulu mau kemana, sama siapa dan aman  Di saat terakhir tinggal di Balikpapan, hobby mancingnya tersalurkan tiap sore di kolam dekat komplek. Kemudian setelah tinggal di Nunukan Mancing ke sungai, ngubek kolam, nyari ikan di laut dan main bola jadi kegiatan tiap hari. Luka  Biasa Anak lelaki ini,  biasa dapat luka.  Begitu Abinya menyemangati tiap pulang membawa luka Hingga suatu hari, terpeleset di dermaga pasar ikan Tergores tiram Luka dan berdarah "Nggak apa kan Bun..? Serunya sambil menahan tangis.  "Iya, nggak apa asal rajin diobati. Anak laki-laki Dek...biasa itu," Bunda menguatkan hati mesk...

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi...