Langsung ke konten utama

Keluarga, Tak Sekedar Ikatan Nasab


Gerimis kecil pagi itu tak menghalangiku duduk di boncengan motor pak suami. Meski di kota sedang tidak hujan deras, namun hujan di hulu sana, membuat Sungai Karangmumus meluap sehingga menyebabkan banjir sepanjang daerah aliran sungai itu. Titik terparah ada mulai dari depan Mall Lembuswana sampai Pasar Segiri. Setelah menerobos banjir dan mencari celah genangan yang tidak dalam pada gang-gang kecil sampai juga di kantor pak suami.

Malam sebelum pak suami mengirim pesan bahwa pagi ini akan pergi dinas ke Balikpapan. Bak pucuk dicita ulam tiba, langsung aku menyatakan ingin ikut.

Bagiku, ke Balikpapan adalah pulang kampung yang sebenarnya. Karena ada banyak "keluarga" di sana. Mengapa ada tanda petik pada kata keluarga? Mau tahu cerita selanjutnya?

Oke, dilanjut ya.

Keluarga seperti bukan keluarga


Jadi sejak pandemi melanda negeri ini, ada dua kota yang begitu kurindukan.

Pertama: Bojonegoro

Di kota ini aku dilahirkan dan ibuku berada seorang diri tanpa anak kandung di sisinya. Di kota ini, keluarga besar ibuku, juga beberapa keluarga dari pihak bapak berada. Jadi masih ada budhe juga paklik-bulik dan para sepupu. Di sini, keluarga dalam ikatan darah berada, namun selain ibu dan saudara-saudara ibu, tak ada yang benar-benar kurindukan. Hubungan kekerabatan antar sepupu sudah tak seakrab waktu kecil dulu, bisa jadi karena kami jarang ketemu. Tapi begitulah adanya.

Sementara adik-adik kandung dan keluarga kecilnya tinggal jauh di luar kota kelahiran kami. Dengan adik sedarah, hubungan kami masih sangat kuat masih terbiasa berpisah jarak sejak masa kuliah hingga saat ini.

Kedua : Balikpapan

Fase kehidupan keduaku, banyak dihabiskan di kota ini. Selama hampir dua puluh tahun aku tinggal di kota ini, hingga tak terasa teman rasa saudara, tetangga jadi saudara. Di kota ini aku mempunyai banyak "keluarga".

Keluarga yang sesungguhnya


Awalnya bingung juga, apa sih sisi menarik dari sebuah keluarga. Ternyata, keluarga bagiku bukan hanya terbentuk dari ikatan darah, tapi juga interaksi yang cukup intens dalam waktu yang sangat lama.

Dan keluarga yang sesungguhnya adalah, orang yang sangat dekat dengan kita,ada di sisi kita saat kita sedang bahagia juga di saat kita jatuh terpuruk. Mereka yang lebih dahulu ada sebelum yang lainnya datang.

Memulai hidup penuh perjuangan di tanah rantau, tentu semua tak lepas dari dukungan orang lain. Mereka inilah yang akhirnya menjadi keluarga. Siapa sajakah mereka?

Tetangga

Jika ada pepatah yang mengatakan tetanggamu adalah keluarga terdekatmu, memang benar adanya. Dalam ajaran-ajaran agama pun, kita diperintahkan untuk berbuat baik pada tetangga. Bahkan definisi tetangga itu empat puluh rumah depan belakang dan kanan kiri rumah kita.

Wow, banyak banget. Kalau zaman sekarang tidak sanggup ya berakrab dan berbuat baik dengan sekian banyak tetangga. Pasti ada salah satu yang membuat kita merasa nyaman dan dekat banget hingga menjadi tetangga rasa keluarga itu.

Sampai anak-anak kami menyebutnya Pakde dan Bude. Tak jarang kami menitipkan anak-anak ketika ada agenda yang tak memungkinkan membawa anak-anak.

Soal tukar menukar makanan, jangan tanya lagi. Sering banget. Mereka yang pertama ada saat kami butuh bantuan, mulai dari mengantar ke bandara sampai membawa ke rumah sakit saat harus berobat karena sakit.

Teman Baik

Beberapa teman yang aku punya rasanya sudah bukan teman lagi, tapi keluarga. Ada teman yang awal ketemunya tidak sengaja, lalu akrab bahkan sampai ke semua keluarganya. Dari kakak sampai adiknya.

Ada juga teman seprofesi yang seiring intensitas interaksi hingga terasa seperti keluarga saja. Suka duka menjalani profesi yang sama, membuat hati kian dekat kayaknya keluarga. 

Teman di Ibu profesional juga keluarga bagiku, meski selama ini belum pernah sekalipun berjumpa. Saat mutasi ke kota lain dan belum ada kenalan, teman seregional Ibu profesional lah yang pertama kali ada buatku. 

Dan, teman sesama ketua kelas di kelas literasi Ibu profesional saat ini juga keluarga bagiku. Secara fisik kami belum pernah bertemu selain melalui zoom atau media online lainnya, namun perhatian dan ikatan hati membuatku merasa memiliki keluarga. 

Kerabat jauh di kota yang sama

Hidup di tanah rantau, menemukan ada kerabat meski hubungan kekerabatan jauh, namun akan menjadi dekat layaknya keluarga terdekat. Perasaan hanya mereka keluarga yang sealiran darah di tempat yang jauh dari keluarga dekat, akan membuat hubungan darah yang jauh menjadi dekat.

Penutup

Keluarga sedarah yang tak terlalu akrab atau bukan keluarga namun rasa keluarga yang ada didekatmu, sebenarnya bukan halangan untuk menjalin silaturahmi. Namun kedekatan fisik maupun emosi dengan keluarga meski bukan karena ikatan darah sungguh bukan hal yang mustahil.


Bagiku, siapapun mereka akan tetap menjadi keluarga terdekatku asal jalinan hati menguatkan untuk saling mendekat hingga mereka ada ketika kita butuhkan, dan kita pun ada untuk mereka. 


#challenge
#kelaspersiapan
#KLIP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Ada yang ingat puisi karya siapakah ini? Sapardi Djoko Damono. Iya tepat sekali. Petikan puisi di atas adalah salah satu bait puisi yang romantis dan sangat terkenal, bahkan sering dikutip untuk undangan pernikahan, kalender, poster, dan banyak lagi.  Sastrawan yang produktif menghasilkan karya ini, sering mendapatkan penghargaan atas karyanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Anugrah Habibie Award XVIII tahun 2016 pada bidang kebudayaan mengukuhkan namanya sebagai sastrawan terdepan masa kini. Pada tahun 2003, mendapat penghargaan Achmad Bakrie sementara Anugrah SEA Write Award yang telah lebih dahulu diraihnya. Biodata Sapardi Nama : Sapardi Djoko Damono Tempat tanggal lahir : Solo, 20 Maret 1940 Pekerjaan : Sastrawan, Guru Besar Tanggal Meninggal : 19 Juli 2020 Istri : Wardiningsih Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Hendriko  Sekilas tentang kehi

Sastra dan Pelajaran Favorit di Sekolah

Buku-buku sastra akan jadi bacaan di sekolah, demikian reaksi para pengiat literasi ketika membaca berita bahwa sastra akan masuk kurikulum. Dalam rangka mengimplementasikan kurikulum merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemanfaatan sastra sebagai sumber belajar. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Standar Badan Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam peringatan Hari Buku Nasional 2024. Karya sastra akan menjadi salah satu sumber belajar yang diharapkan dapat meningkatkan minat baca, mendorong berpikir kritis, dan mengasah kreatifitas. Jadi kebayang kan novel-novel sastra jadi bacaan siswa di sekolah. Ikut senang dengar berita ini, meski tak luput dari kritik dan kekurangan sih. Baru-baru ini seorang Budayawan, Nirwan Dewanto membuat surat terbuka yang intinya keberatan dengan buku panduan sastra masuk kurikulum. Termasuk buku puisinya yang dijadikan rujukan, dan masuk daftar bacaan atau buku-buku yang direkomendasi