Perempuan dengan wajah oval itu melintas di hadapanku. Senyumnya mengembang serupa gula-gula, manis. Hatiku seketika berdesir, pantas saja. Raut wajah sempurna, bersih dengan mata bulannya yang bercahaya, alis yang tidak terlalu tebal juga tida tipis memagarinya, ditambah lentiknya bulu mata. Sempurna.
Aku berpaling setelahnya. Segera ku gapai gagang pintu menuju rumah, lalu masuk dan menutupnya erat. Dadaku kian gemuruh, hingga separuh energiku luruh. Tubuhku merosot hingga terduduk di lantai. Huh, pantas saja. Wanita itu begitu cantik, tak sebanding dengan diriku. Bahkan jauh sekali.
Sepanjang hidupku tak pernah satu pun yang mengatakan aku cantik, ya memang nggak cantik, meski tak pernah juga ada yang mengatakan jelek. Namun setiap aku berkaca, sungguh pantulan cermin itu bukan yang ku harapkan. Aku ingin wajahku putih bersih, namun cermin itu mengambarkan wajah kusam dan berbintik. Aku mengharapkan hidungku sedikit mancung, namun cermin itu menunjukan hidungku yang pesek. Aku ingin senyumku terlihat manis, namun senyum di cermin itu serupa seringai dan memperlihatkan dua gigi depan yang menonjol ke luar.
Aku berupaya menerima segala adanya diriku. Namun selalu rasa tak puas mengikutiku. Andai aku cantik, tentunya semua akan lebih mudah bagiku. Aku sering membuatku kesal pada orang-orang yang selalu membandingkan ku dengan adik perempuanku satu-satunya yang lebih jelita dariku.
Perempuan itu lagi, kali ini dia sudah duduk manis di ruang tamuku.
"Aku mencintai suamimu yang juga suamiku, " tuturnya lembut.
Aku tahu, tapi aku tak bisa berkata apa-apa hingga hanya bisa diam membisu.
"Jangan khawatir, aku akan tetap membiarkan lebih banyak bersamamu, "lanjutnya masih dengan suara lembut dan tenang. " Aku tak pernah cemburu padamu, kamu tahu? Meski suamiku kini lebih sering bersamamu, aku rela dan tak pernah cemburu. "
Iya, itu karena kamu lebih cantik dariku. Untuk apa cemburu. Dan aku tahu, meski bersamaku, dia lebih cinta padamu, aku hanya bersenandika dan tak ada sepatah katapun yang sanggup ku ucapkan.
***
Sejak hari itu, wanita itu masih sering bertemu muka denganku. Tak pernah ada percakapan diantara kami, tapi dia selalu melempar senyum padaku. Senyum yang membuatku semakin jengkel dengan kehadirannya. Hingga suatu saat aku tak dapat lagi menahan rasa amarah ini. Aku harus mengakhiri semua ini, tak sanggup rasanya bertahan dalam kondisi seperti ini. Baiklah, suamiku kuncinya. Aku akan memintanya memilih, aku atau dia si wanita itu.
" Ayah tahu, ada hal yang wanita tak dapat menahannya? "tanyaku suatu ketika pada suamiku
" Apa itu Bun? "tanyanya balik padaku.
" Selain rasa ingin tahu, wanita juga tidak bisa menahan cemburu. "jawabku tegas.
Dia tertawa dan berkata, " Lha kamu cemburu? Sama siapa? "
"Sama perempuan yang dekat denganmu? "
"Siapa? Emang siapa yang dekat denganku selain kamu. Tahu sendiri kan, aku ini terkenal dengan cueknya dari dulu. "
"Ya adalah .... "
"Siapa? "
"Pikir aja sendiri. " ujarku ketus.
Aku berlalu, secepat mungkin kusiapkan tas besar, kujejalkan beberapa lembar baju sekenanya dan kututup dengan kasar. Saat aku keluar kamar, dia menatapku dengan heran.
"Mau kemana Bun? "
"Pergi .... "
"Iya, pergi kemana? "
"Kemana saja, " kataku dengan suara yang mulai parau menahan tangis. Lalu tangisan itu luruh dan semakin luruh hingga menjadi isak.
"Aku tak tahan lagi, biarkan aku pergi, " teriakku.
"Lho ada apa sih sebenarnya? "
"Aku benci kamu, aku capek, biarkan aku pergi...! " jeritku melepas pelukannya.
"Sana jauh dariku. Biarkan aku pergi, aku mau pergiiiii.... "
Pelukan suamiku mengendur dan lepas. Dia mundur beberapa langkah dan pergi ke kamar.
Aku tergugu di ruang tamu sendirian. Ku tuntaskan segala tangis ku hingga lepas segala beban di dadaku. Tak terasa aku tidur beberapa saat.
Saat ku bangun, kulihat suamiku duduk di dekatku.
"Ada apa sebenarnya? Aku nggak ngerti mengapa kamu tiba-tiba seperti ini? " tanyanya sambil mengelus punggungku.
"Aku nggak suka dengan semua ini, Ayah jahat. Jahat ...! "jeritku lagi.
" Iya sudah terserah kamu, tapi jelasin dulu ada apa. Ini nggak ada hujan dan ada angin marah-marah kayak gini. Ada apa hemm ?" tanyanya masih dengan nada lembut.
"Jujur Ayah masih cinta dia kan? "
"Dia siapa? "
"Aku tahu, Ayah sangat mencintai dia, bahkan meski Ayah bersamaku. Ini tak adil bagiku. Sekarang Ayah pilih, aku atau dia? "
"Dia siapa? " tanyanya dengan nada mulai meninggi.
"Nggak usah pura-pura tak tahu gitu. Sudah kalau gitu ceraikan aku saja. "
"Lha ini, malah nggak jelas gini. Dia itu siapa? "
"Ya istrimu lah! " jeritku jengkel.
"Istriku kan hanya kamu, siapa lagi? "
"Ada, dia .... "
"Lha kan sudah meninggal, makanya aku nikah sama kamu. Kok kamu ngeracau gini sih ?"
Dipegangnya dahiku sambil membaca doa-doa. Ada rasa hangat menelusup kedalam tidur tubuhku. Dan aku merasa lemas sekali. Setelah itu segelas air putih diminumkannya padaku setelah dibacakan surah Al Fatihah.
"Aku tahu kamu capek beberapa hari, tapi jangan sampai lupa dzikir pagi dan petang agar dilindungi dari godaan jin. Ingatin juga, jangan banyak melamun. "
Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Apa yang kulihat beberapa hari ini rasanya nyata sekali. Bukan khayalan.
"Ya Allah, pertama kalinya dalam hidupku melihat istri kalap kayak gini, mana malam-malam lagi. "
Aku masih diam tanpa sanggup berkata-kata lagi.
"Eh kamu ini bagusnya di ruqyah atau dibawa ke psikiater ya. "
*****
Komentar
Posting Komentar