Bulan penuh menghias langit malam ini, kunikmati dinginnya sisa-sisa hujan sore tadi di awal September tahun ini. Seperti September ceria yang tak sengaja ku dengan barusan. Ah semoga saja, harapku. Dan keputusan ini sudah bulat. Setelah sebulan lebih menimbang dan berpikir, tak lupa istikhoroh di malam- malam sunyiku, semakin menguatkan langkahku. Aku ingin membebaskan diri dari kesemuan ini.
Bahkan selarut ini, dia belum pulang, entah dimana malam-malamnya selalu dihabiskan. Terlebih setelah tinggal dirumah sendiri, dalam sepekan hanya tiga malam dia ada di rumah sebelum waktu sholat Isya datang.
Mungkin semuak itukah dia padaku, hingga bertemu muka pun sudah tak nyaman baginya. Lagian, salahku juga, mengapa harus bertahan sejauh ini. Setahun bukan waktu yang sedikit untuk bersama orang yang tak sedikitpun punya rasa cinta padaku. Bukan seperti cerita film atau novel benci jadi cinta. Semua sama sejak awal hingga hari ini, tak akan ada yang bisa dirubah.
Jarum jam sudah lewat dari angka 11 malam ketika pintu rumah terbuka.
"Belum tidur? "sapanya datar setelah menjumpaiku di ruang tengah. Memang tak biasanya aku menunggunya. Bahkan aku sudah tak peduli jam berapapun dia pulang. Kami punya kamar masing-masing sejak di rumah ini. Itu lebih baik daripada dulu saat masih tinggal bersama di rumah mertuaku. Meski sekamar, aku hanya bisa melihat punggungnya waktu tidur tiba. Meski diluar kamar, kami terlihat layaknya suami istri yang baru menikah.
"Ada yang ingin aku bicarakan, "jawabku.
" Tumben, ada apa? "
"Aku ingin kita pisah, cerai, " aku berusaha menahan kata terakhir itu
sedatar mungkin tanpa emosi.
"Wow, kenapa nggak dari dulu. Aku bebas kamu bebas. Enak bukan? " sebuah jawaban tanpa empati itu akhirnya kudengar juga meski sudah kuantisipasi masih terasa nyeri juga.
"Jika kamu ingin bebas mengapa nggak ceraikan aku dari dulu? Bukankah kami punya hak untuk itu? "
Tiba-tiba rasa nyeri itu berdenyut di hatiku. Mirisnya aku, mengapa tak memintanya dari dulu, bukankah ini juga hakku meminta gugat cerai atau khulu' darinya, bahkan dalam sighat taklik nikah, jika dalam waktu 3 (tiga) bulan lamanya suami tidak memberikan nafkah..... Ah, Tiba-tiba air mata berdesakan ingin keluar dari pembuluhnya.
Kami bukan korban kawin paksa, semua kami lakukan karena pilihan sendiri . Saat aku menerima proposal ta'arufnya dan membaca resume dirinya, semua baik-baik saja. Guru Fisika di sebuah sekolah menengah atas, sorenya masih mengajar di bimbingan belajar, menunjukan sosok pekerja keras. Sholat jama'ah pun rajin dilakukan di masjid. Tak pernah terdengar berita buruk tentangnya saat aku mengali informasi dari teman dekat dan tetangganya.
Maka, akupun mantap menerima proses ta'aruf dan melanjutkan ke jenjang berikutnya tanpa kendala. Semua pihak menerima dengan lapang dada. Hanya butuh waktu tiga bulan sejak proposal itu kuterima, walimah kami diadakan dengan penuh hikmat dan meriah meski bukan pesta besar-besaran.
Hari itu, lembaran sejarah baru dibuka. Aku, Evi menyandang status baru sebagai nyonya Deni, menyusul Eva kembaranku yang sudah terlebih dahulu menikah setahun sebelumnya.
Bahagia rasanya. Rasa cepek mempersiapkan acara walimah dalam waktu tiga bulan saja, terbayar sudah. Ucapan selamat dan doa berhamburan dari sanak keluarga dan teman-teman yang mengenal kami. Tak jarang kudengar canda teman terdekat, bahagianya Evi, dapat suami gagah lagi.
Atau senyum yang terus mengembang dari bibir kedua orang tuaku, melihat anak gadisnya akhirnya bersanding juga dengan pria pilihannya.
Kelebat bayangan Mamak dan Bapak tiba-tiba menderaskan air mataku. Entah apa alasanku padanya nanti.
"Baiklah, akan segera kita urus perpisahan kita ini. " kudengar kalimatnya sudah lebih melunak.
"Maaf, aku tak bisa melanjutkan ini semua. Sungguh aku sudah berusaha dan sabar menunggumu berubah setahun ini. Nyatanya, kamu tak sedikitpun mau berubah. "
Sebagai perempuan, sebelum keinginan khulu' atau mengajukan gugatan cerai dari pihak istri kepada suami, berbagai upaya sudah kulakukan. Rasa malu sudah kubuang jauh-jauh. Aku istrinya sudah kewajibanku memenuhi haknya. Namun apadaya, dia tak mau mengunakan haknya. Rasa putus asa melihatnya tak bergeming, tanpa alasan. Bahkan tawaran untuk mencari jalan keluar.
Akhirnya kini aku menjadi janda. Seorang janda yang perawan.
Komentar
Posting Komentar